Date post: | 08-Jul-2016 |
Category: |
Documents |
Upload: | rezky-darmawan-hatta |
View: | 233 times |
Download: | 0 times |
Laporan Kasus
DEMAM TIFOID
Oleh
Radis Virna Da Gusta0808151021
Pembimbing :
dr. Zaitul Wardana RK, SpPD-DTM&H
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit endemik yang termasuk dalam masalah
kesehatan di negara berkembang, termasuk Indonesia karena dapat membawa
dampak peningkatan angka morbiditas maupun angka mortalitas. Di Indonesia
kasus demam tifoid telah tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962
tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.1
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, di topang
dengan bakteremia dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit
mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch. Sampai saat
ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, serta berkaitan
dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-negara berkembang.1
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2003, terdapat 17
juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai
600.000 kasus.2 Di Indonesia terdapat 900.000 kasus dengan angka kematian
sekitar 20.000 kasus.3 Menurut data Hasil Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS)
tahun 2007, demam tifoid menyebabkan 1,6% kematian penduduk Indonesia
untuk semua umur.4 Demam tifoid lebih sering menyerang anak usia 5-15 tahun.5
Menurut laporan WHO 2003, insidensi demam tifoid pada anak umur 5-15 tahun
di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus pertahun dan dengan prevalensi
mencapai 61,4/1000 kasus pertahun.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella
enterica serotype paratyphi A, B, atau C (demam paratifoid).6
2.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram
negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu
antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen
Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga
macam antigen tersebut.6
2.3 Patogenesis
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui
beberapa tahapan.7 Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat
bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus
pada ileum terminalis.8 Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui
barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement,
dan internalisasi dalam vakuola intraseluler.8 Kemudian Salmonella typhi
menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah
melalui sistem limfatik.2 Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya
tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang
negatif.8 Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari.7,8 Bakteri dalam pembuluh
darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ
sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga
dapat melakukan replikasi dalam makrofag.8 Setelah periode replikasi, kuman
akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan
bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi.6,8
Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan
2
nyeri abdomen.7 Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak
diobati dengan antibiotik.9 Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa,
sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal.9
Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang meng-
akibatkan nekrosis dan iskemia.7 Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat
menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam
organ-organ sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi
kembali. Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai
pembawa kuman atau carrier.9
2.4. Gejala Klinis
Masa inkubasi bervariasi dan tergantung pada ukuran inokulum dan daya
tahan tubuh penjamu. Masa inkubasi rata-rata 3 – 60 hari. Setelah masa inkubasi
maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang
biasa ditemukan, yaitu : 6,10
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam menetap persisten . Peningkatan suhu seperti
naik tangga setiap hari sampai dengan 40 atau 41oC . Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi
hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua,
penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh
berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
Bradikardia relatif dapat ditemukan. Bradikardia relatif adalah peningkatan suhu
tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering
dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan
frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
3
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal
bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
2.5 Diagnosis
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :2,6
a.Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala klinis yang khas
pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan
pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena
pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan
diagnosis demam tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih
dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu
pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana
hasil positif menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sumsum tulang tetap
memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positif. Pada minggu-minggu
selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%
dan 25% berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja
masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3%
penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk
jangka waktu yang lama.
c.Diagnosis serologik
1. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam
serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi
dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang
4
digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya,
semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid.
Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang
yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin
empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :10
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau
pernah menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
2. Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil pemeriksaan
yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang
dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella
serogroup D.9 Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi
IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid,
sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase
pertengahan.11 Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh
karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus akut dan kasus dalam
masa penyembuhan.11 Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya
digunakan untuk mendeteksi IgM saja.11 Typhidot M memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot.12 Pemeriksaan ini dapat
menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah
dikemukakan sebelumnya.11
2.6 Penatalaksanaan
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam
5
dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.13 Yang juga tidak
kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan
keadaan carrier.13
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella
typhi setempat.13 Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap
banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang
akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap
antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan
trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik
fluoroquinolone.14 Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan
petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone.14 Terapi antibiotik
yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun
2003 dapat dilihat pada tabel 1.11
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan
pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan
isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis
sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal
carrier kurang dari 2%.1 Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang
sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag,
serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik
lain.14
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone
dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas
yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah
dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi
demam tifoid tanpa komplikasi.14 Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1
kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-
masing selama 7 hari.
6
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih
bermanfaat dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil
mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan ciprofloxacin.14
Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI
mengenai efikasi dan keamanan levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa
komplikasi.11 Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari selama
7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek
samping yang minimal. Dari studi ini juga terdapat tabel perbandingan rata-rata
waktu penurunan demam di antara berbagai jenis fluoroquinolone yang beredar di
7
Indonesia di mana penurunan demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4
hari.11
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan
bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan
chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan.14 Namun, fluoroquinolone tidak
diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan
dan kerusakan sendi.1,2,11
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar
pada demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka
kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis
pada sumsum tulang.11Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan
klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi
pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi
pada kurang dari 4%.1
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau
kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis
tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat.1 Terapi antibiotik yang
diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO tahun 2003 dapat dilihat
di tabel 2.11 Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid
tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan
terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita
perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk
mengoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik.1,2 Nutrisi
yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan
mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.1,2
2.7 Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan
makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama
menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan
tersedianya air bersih sehari-hari.13 Strategi pencegahan ini menjadi penting
seiring dengan munculnya kasus resistensi.13 Selain strategi di atas, dikembangkan
8
pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara maju ke daerah yang
endemik demam tifoid.13 Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:1,2 Vaksin Vi
Polysaccharide Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun
dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan
efikasi perlindungan sebesar 70-80%. Vaksin Ty21a Vaksin oral ini tersedia
dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada anak usia 6 tahun ke
atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik
dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun
dan memberikan efikasi perlindungan 67-82%. Vaksin Vi-conjugate Vaksin ini
diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi
perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap
selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.
9
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama : Nn. VS
Umur : 18 Tahun
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Tampan
Masuk RS : 8 Juli 2014
ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan Utama : Demam sejak 10 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
Sejak 10 hari SMRS, pasien mengeluhkan demam. Demam meningkat pada sore
hari serta menurun pada pagi hari. Awalnya, demam dirasakan naik turun. Namun
dalam beberapa hari terakhir, demam terjadi secara terus menerus. Menggigil (-),
nyeri kepala (+), nyeri otot (+), lemas (+), mual (+), muntah (+) berisi makan
dengan frekuensi 6x/hari dengan jumlah + ¼ gelas/x muntah, nyeri ulu hati (+),
bintik-bintik merah di perut (-), perut terasa kembung (+), batuk (-), nyeri
tenggorokan (-), riwayat batuk lama (-), penurunan berat badan (-), nafsu makan
menurun (+), nyeri saat BAK (-), perut pasien terasa kembung dan pasien tidak
BAB sejak 4 hari terakhir. Pasien berobat ke klinik dan diberi obat paracetamol
dan amoksilin, namun keluhan tidak berkurang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak pernah mengeluhkan keluhan seperti ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga menderita penyakit yang sama
Riwayat Kebiasaan
- Pasien merupakan seorang pelajar SMA
10
- Pasien sering membeli makanan di luar
- Riwayat bepergian ke daerah lain disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan darah : TD 110/70 mmHg
Nadi : 68 x/menit
Nafas : 16 x/menit
Suhu : 39,1°C
Keadaan gizi : BB = 50 TB = 160 IMT = 19,53
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+)
Leher : pembesaran KGB (-)
Lidah : kotor (+), typhoid tongue (-)
Pemeriksaan Thoraks
Paru :
Inspeksi : gerakan dada simetris kiri dan kanan, retraksi (-)
Palpasi : vokal fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi: suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dbn
Auskultasi : bunyi jantung I dan II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
11
Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : tampak datar, venektasi (-), scar (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar teraba 1 jari di bawah
arcus costae, permukaan rata, tepi tumpul, konsistensi kenyal, nyeri
tekan (-), lien tidak teraba
- Perkusi : timpani
Pemeriksaan Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Laboratorium darah rutin
Hb : 12 gr/dl
Ht : 39,0 %
Leukosit : 10.900/uL
Trombosit : 346.000/mm3
Widal : Antigen H = positif titer 1/160
Antigen O = positif titer 1/320
Resume:
Nn. VS datang ke RSUD AA dengan keluhan febris tipe continua sejak 10 hari
SMRS, meningkat pada sore hari. Cephalgia (+), myalgia (+), nausea (+), vomitus
(+), konstipasi (+) sejak 4 hari SMRS. Pasien berobat ke klinik 24 jam dan diberi
antipiretik dan antibiotik, namun keluhan tidak berkurang. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya bradikardi relatif, hepatomegali dan nyeri tekan epigastrium
(+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis dan Widal antigen H
reaktif dengan titer 1/160 dan antigen O reaktif dengan titer 1/320.
Daftar Masalah
1. Demam typhoid .
12
Analisis Masalah
Demam pada pasien ini sudah berlangsung selama 10 hari, demam naik
turun dan meningkat pada sore hari dan pada beberapa hari terakhir demam terjadi
terus menerus. Demam lebih dari 7 hari dapat dipikirkan kemungkinan demam
tifoid, malaria dan tuberkulosis. Karakteristik demam pada demam tifoid adalah
selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari,
kemudian dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Pada malaria, demam yang terjadi diawali dengan menggigil karena pasien
merasa kedinginan, lalu timbul demam dan kemudian pasien berkeringat banyak
lalu demam turun. Pada pasien ini tidak terdapat karakteristik demam malaria.
Penyakit tuberkulosis selain demam pasien juga mengeluhkan batuk berdahak dan
penurunan berat badan, namun pada pasien ini tidak ada gejala batuk berdahak
maupun penurunan berat badan.
Demam juga disertai gejala nyeri kepala, nyeri otot, lemas, dan mual.
Keluhan tersebut dirasakan pasien bersamaan dengan timbulnya demam. Pasien
tidak pernah mengeluhkan hal tersebut sebelumnya. Keluhan yang dirasakan
pasien ini merupakan gejala prodromal dari demam yang diderita pasien.
Pasien sudah 4 hari tidak BAB, selama ini pasien tidak ada keluhan BAB,
BAB pasien teratur dengan konsistensi normal. Konstipasi terjadi bila frekuensi
BAB kurang dari 3 kali seminggu dengan konsistensi keras, kesulitan
mengeluarkan feses serta mengalami sensasi tidak puas pada saat BAB. Keluhan
pada pasien ini dikarenakan kurangnya intake makanan sehingga pembentukan
massa feses sedikit.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya bradikardi relatif, hepatomegali
dan nyeri tekan epigastrium. Penyakit dengan gejala demam dan hepatomegali
seperti demam tifoid, demam berdarah dengue dan hepatitis. Demam berdarah
dengue ditandai dengan gejala demam 2-7 hari dengan tipe demam bifasik, ada
manifestasi perdarahan, serta trombositopenia dan hemokonsentrasi. Pada
hepatitis, demam dengan gejala prodromal pada minggu pertama dan adanya fase
ikterik pada minggu kedua. Pada pasien ini dapat disingkirkan kemungkinan
demam berdarah dengue dan hepatitis.
13
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Leukosit: 10.900/uL, Widal
dengan antigen H reaktif titer 1/160, antigen O titer 1/320. Dengan didukung
pemeriksaan penunjang ini, demam pada pasien mengarah ke diagnosis demam
typhoid.
Diagnosis Kerja : demam tifoid
Penatalaksanaan
Non-Farmakologis
o Tirah baring
o Diet rendah serat
Farmakologis
o IVFD RL 20 tpm
o Inf. Levofloxacin 1x500 mg
o Inj. Ranitidin 3x25 mg
o Paracetamol tab 3x500 mg
o Domperidon tab 3x10 mg
FOLLOW UP
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning
9 Juli 2014 Demam (+),
nyeri kepala
(+), mual (+),
muntah (+)
berkurang,
nyeri ulu hati
(+), BAB (-)
Kes : CM
TD : 110/70
mmHg
HR : 72x/i
RR : 16 x/i
T : 38,20C
Demam
typhoid
Tirah baring
Diet rendah serat
o IVFD RL 20 tpm
o Inf. Levofloxacin 1x500
mg
o Inj. Ranitidin 3x25 mg
o Paracetamol tab 3x500 mg
o Domperidon tab 3x10 mg
o
14
10 Juli 2014 Demam (+),
nyeri kepala
(-), mual (+),
muntah (-),
nyeri ulu hati
(-), BAB (+)
sedikit
Kes : CM
TD : 130/80
mmHg
HR : 68 x/i
RR : 16 x/i
T : 38,00C
Demam
typhoid
Tirah baring
Diet rendah serat
o IVFD RL 20 tpm
o Inf. Levofloxacin 1x500
mg
o Inj. Ranitidin 3x25 mg
o Paracetamol tab 3x500 mg
o Domperidon tab 3x10 mg
o
11 Juli 2014 Demam (-),
nyeri kepala
(-), mual (-),
BAB (+)
Kes : CM
TD : 120/70
mmHg
HR : 80 x/i
RR : 16 x/i
T : 37,20C
Demam
typhoid
Tirah baring
Diet rendah serat
o IVFD RL 20 tpm
o Inf. Levofloxacin 1x500
mg
o Inj. Ranitidin 3x25 mg
o Paracetamol tab 3x500 mg
o Domperidon tab 3x10 mg
o
12 Juli 2014 Pasien boleh pulang
15
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini, ditegakkan diagnosis demam typhoid. Hal ini didasarkan
karena pada anamnesis didapatkan adanya demam tipe continue sejak 10 hari
SMRS yang meningkat pada sore hari dengan adanya gejala prodormal dan
gangguan pada saluran cerna. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya
bradikardi relatif, nyeri tekan epigastrium dan hepatomegali. Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan pada test Widal antigen antigen H reaktif dengan titer 1/160
dan antigen O reaktif dengan titer 1/320.
Pasien memiliki riwayat pengobatan pada saat demam terjadi yaitu berobat
di klinik dan diberi Parasetamol dan Amoksisilin, namun keluhan pasien tidak
berkurang. Hal ini dikarenakan demam yang dikeluhkan pasien tidak diterapi
dengan antibiotik yang sesuai dengan etiologi dari demamnya itu sendiri. Terapi
pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian serta eradikasi total bakeri
untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.13 Pemilihan antibiotik
tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.13
Pada pasien ini penatalaksanaan non farmakologis dengan tirah baring dan
pemberian diet rendah serat. Penderita demam tifoid memerlukan istirahat total
serta pemberian nutrisi yang adekuat melalui total parenteral nutrisi dilanjutkan
dengan diet makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan
mengizinkan.1,2 Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk
memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan
sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna,
juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna
atau perforasi usus.1,2 Pasien ini dirawat karena adanya mual muntah yang berat,
tidak nafsu makan serta badan lemas, sehingga ditakutkan intake nutrisi, cairan
dan elektrolit pasien tidak akan adekuat jika pasien dilakukan rawat jalan. Pasien
dianjurkan untuk tirah baring sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang
lebih selama 14 hari. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien.7
16
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah IVFD RL 20 tpm,
infus Levofloxacin 1x500 mg selama 3 hari, Paracetamol tab 3x500 mg, injeksi
Ranitidin 3x25 mg dan Domperidon 3x10 mg sebagai terapi simptomatik dengan
pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum pasien. Antibiotik golongan
fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin dan pefloxacin)
merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak
resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%.1
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan
salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas
yang baik adalah levofloxacin. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1
kali sehari.14 Berdasarkan hasil follow up, terjadi penurunan demam pada hari
ketiga. Sesuai dengan literatur bahwa penurunan demam pada pemberian
Levofloxacin paling cepat yaitu 2-4 hari.11
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Muliawan SY, Surjawidjaya JE. Diagnosis dini demam tifoid dengan
menggunakan protein membran luar S. Typhi sebagai antigen spesifik.
CDK.1999;124:11-3.
2. Department of Vaccines and Biologicals. Background document: The
diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Geneva: WHO; 2003.
3. Crump JA, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bulletin of the
World Health Organization. 2004; 82(5):346-53.
4. Anonim. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2009.
5. Ochiai RL, Acosta JC, Danovaro-Holliday MC, Baiqing D, Bhattacharya SK,
Agtini M, et al. A study of typhoid fever in five Asian countries: disease
burden and implications for controls. Bull World Health Organ. 2008;86:260-
8.
6. Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. 2006. Jakarta ;Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI: 1752-57
7. Typhoid fever. Surgery in Africa-Monthly Review [Internet]. 2006 Feb 11
[cited 2011 Mar 3 ].Available from:
http://www.ptolemy.ca/members/archives/2006/typhoid_fever.htm
8. Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract 2006; 14:
266-72.
9. Parry CM. Epidemiological and clinical aspects of human typhoid fever
[Internet]. 2005 [cited 2011 Mar 3]. Available from: www.cambridge.org
10. Karsinah, Suharto, W. Mardiastuti, M. Lucky. Batang negatif gram. Dalam:
Staf Pengajar FK UI, penyunting. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi
Revisi. Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1994;168-73.
11. Mehta KK. Changing trends in typhoid fever. Medicine Update 2008; 18: 201-
4.
12. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever.
BMJ 2006; 333: 78-82
18
13. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet
2005; 366: 749-62.
14. Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid
fever [Internet]. 2003 [cited 2010 Nov 25]. Available from:
www.who-int/vaccines-documents/
15. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta. 2008.
19