IMPLEMENTASI REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION
DITINJAU DARI PEMAHAMAN KONSEP PERKALIAN
PADA SISWA TUNARUNGU KELAS II DI SDLB WANTU WIRAWAN SALATIGA
Oleh:
SEPTIANA DEWI
202013006
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
1
IMPLEMENTASI REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION
DITINJAU DARI PEMAHAMAN KONSEP PERKALIAN
PADA SISWA TUNARUNGU KELAS II DI SDLB WANTU WIRAWAN SALATIGA
Septiana Dewi1 , Erlina Prihatnani2
Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga, Jawa Tengah 50711 1 Mahasiswa Pendidikan Matematika FKIP UKSW, email: [email protected] 2 Dosen Pendidikan Matematika FKIP UKSW, email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk merancang dan mengimplementasi RME dalam pembelajaran
perkalian untuk siswa Tunarungu kelas II di SDLB Wantu Wirawan Salatiga. Desain dari
penelitian eksperimen ini adalah the one shot case study. Pengambilan sampel dalam penelitian
ini menggunakan teknik sampling jenuh yang terdiri dari 3 subjek. Hasil penerapan RME
dengan tahap enaktif dilakukan dengan kegiatan yang bersifat motorik dengan bantuan alat
peraga bola, keranjang dan permen. Tahap Ikonik dengan pengajuan permasalahan kontekstual
yang dilanjutkan dengan tahap penyajian soal melalui tampilan gambar-gambar dan visualisasi
verbal yang ditampilkan pada lembar kerja. Adapun tahap simbolik digunakan untuk
menyajikan soal dalam bentuk konsep abstrak berupa bilangan dan operasi bilangan. Penerapan
RME dengan menggunakan tahap enaktif, ikonik dan simbolik dapat membuat ketiga subjek
penelitian memiliki konsep yang benar sehingga subjek memahami bahwa perkalian a x b
merupakan penjumlahan berulang bilangan b sebanyak a faktor.
Kata Kunci: Realistic Mathematic Education, konsep perkalian, tunarungu
PENDAHULUAN
Setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan, termasuk juga warga
negara yang memiliki kebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan UU RI nomor 20 tentang
Sisdiknas pasal 5 ayat 2 yang menyatakan bahwa “Warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan”.
Siswa berkebutuhan khusus, seperti anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunalaras,
tunadaksa, berbakat, dan anak berkesulitan belajar, serta anak dengan cacat ganda merupakan
anak yang mengalami permasalahan dalam perkembangannya. Berbagai macam permasalahan
sering dihadapi oleh mereka, seperti di bidang akademis, psikologis maupun masalah sosial
lainnya. Siswa berkebutuhan khusus antara lain yaitu tunatetra disebut SLB-A, tunarungu
disebut SLB-B,tunagrahita disebut SLB-C tunadaksa disebut SLB-D, dan tunalaras yang
disebut SLB-E dan cacat ganda disebut SLB-G.
Menurut Suharmini (2009: 1), siswa tunarungu adalah siswa yang mengalami gangguan
atau kehilangan dalam fungsi pendengaran, sehingga siswa tunarungu tidak dapat menangkap
2
berbagai macam informasi melalui pendengaran secara baik. Tentu saja dalam mendapatkan
pembelajaran mereka akan mengalami kesulitan karena adanya keterbatasan dalam mendengar.
Hal ini juga dialami dalam pembelajaran matematika, Abdurahman (2010) mengatakan bahwa
dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang studi yang
dianggap paling sulit oleh para siswa, baik yang siswa yang normal dan lebih-lebih bagi siswa
yang memiliki kebutuhan khusus dalam belajar.
Salah satu karakteristik matematika menurut Soedjadi (1999:1) adalah objek kajiannya
bersifat abstrak. Meskipun berisi konsep abstrak, dalam pembelajaran matematika tetap harus
memperhatikan taraf perkembangan peserta didik agar peserta didik mampu mempelajari
konsep-konsep tersebut. Namun pembelajaran matematika, tetap dituntut untuk menyajikan
konsep abstrak tersebut secara konkret. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi menyebutkan
bahwa ruang lingkup matematika Sekolah Dasar Luar Biasa Tunarungu (SDLB-B) dibagi
menjadi 3 yaitu bilangan, geometri dan pengukuran, pengolahan data. Materi bilangan meliputi
operasi bilangan. Dalam operasi bilangan terdapat penjumlahan, pengurangan, perkalian dan
pembagian. Konsep operasi bilangan merupakan konsep yang abstrak dalam matematika. Salah
satunya adalah perkalian. Perkalian pertama kali diajarkan pada siswa kelas II. Perkalian a x
b merupakan penjumlahan berulang bilangan b sebanyak a faktor. Penting bagi siswa untuk
memahami konsep perkalian yaitu penjumlahan berulang. Kenyataannya tidak semua siswa
memahami mengenai konsep tersebut. Hal ini dilihat dari ketidakmampuan siswa ketika
melakukan perkalian. Misalnya ketika ditanya 6 x 7, siswa tidak bisa menjawab karena lupa
atau pun tidak hafal. Siswa tersebut tidak bisa menghitung 6 x 7 sebagai 7 + 7 + 7 + 7 + 7 + 7.
Salah satu konsep abstrak pada operasi bilangan yaitu perkalian hendaknya disajikan dalam
bentuk konkrit sehingga dapat dipahami siswa dan bukan hanya sekedar konsep abstrak yang
hanya bisa digunakan oleh siswa. Konsep abstrak tersebut hendaknya diajarkan sesuai dengan
tahap perkembangan siswa. Menurut teori perkembangan Piaget (Budiningsih, 2004: 38) siswa
pada kelas II yang usianya sekitar 7-9 tahun masuk dalam fase operasional konkrit (7-11 tahun).
Pada fase ini, siswa telah memiliki kecakapan berpikir logis, tetapi hanya dengan benda-benda
yang bersifat konkret. Namun anak telah dapat melakukan pengelompokan, pengklasifikasian
dan pengaturan masalah. Untuk menghindari keterbatasan berpikir, anak perlu diberi gambaran
konkrit, sehingga ia mampu menyelidiki masalah. Oleh karena itu perlu bagi guru untuk
menerapkan model yang menekankan pada penyajian matematika abstrak menjadi konkrit
sehingga dapat dipelajari siswa.
3
Menurut Bruner (Aisyah, 2007: 6) dalam pembelajaran hendaknya jangan
menggunakan penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif siswa. Bruner menjelaskan
bahwa pengetahuan itu dapat dibayangkan dalam pikiran, maka pengetahuan itu dapat
dipelajari dalam tiga tahap yaitu tahap enaktif (pengetahuan dipelajari secara aktif dengan
menggunakan benda-benda konkret atau situasi nyata), tahap ikonik (pengetahuan
dipresentasekan dalam bentuk bayangan visual atau gambar yang menggambarkan kegiatan
konkret yang terdapat pada tahap enaktif) dan tahap simbolik (pengetahuan dipresentasikan
dalam bentuk simbol-simbol)
Prinsip perkembangan kognitif dan tahap Bruner dapat dijadikan dasar dalam
perencanaan dan mengimplementasikan model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran
yang menekankan adanya penyajian konsep abstrak menjadi konkret sesuai dengan tahap
perkembangan kognitif dan juga tahap Bruner adalah RME.
Terdapat penelitian yang telah menerapkan RME guna meningkatkan hasil belajar
matematika. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Wisnu (2014), Sofiana (2015) dan
Ichwatum (2015). Ketiganya berturut-berturut menerapkan RME pada siswa SD kelas III
materi menghitung keliling, luas persegi dan persegi panjang, siswa kelas V materi hitung
bilangan pecahan dan pada siswa MI kelas III materi sifat bangun datar. Ketiga penelitian ini
membuktikan bahwa penerapan RME dapat membawa dampak baik terhadap hasil belajar
matematika. Selain itu terdapat pula penelitian yang menggunakan RME dalam pembelajaran
matematika di SDLB, salah satunya yang dilakukan oleh Dantes dkk (2013) materi pecahan
dengan subjek siswa tunarungu di SDLB Tabanan yang membuktikan penerapan RME pada
siswa tunarungu membawa dampak baik terhadap hasil belajar siswa sehingga hasil belajarnya
berada diatas KKM. Hal ini semakin menguatkan pemilihan RME untuk pembelajaran
matematika pada siswa tunarungu.
Adanya teori tentang RME beserta hasil penelitian tentang RME, maka menjadi dasar
pemilihan untuk menerapkan RME pada siswa tunarungu. Penelitian ini akan merancang,
melaksanakan dan mengevaluasi hasil dari penerapan RME. Tujuan dari penelitian ini adalah
menerapkan RME untuk membuat siswa di SDLB Kelas II memiliki pemahaman yang benar
akan konsep perkalian.
Diharapkan penelitian ini dapat mewujudkan proses pembelajaran matematika bagi
siswa tunarungu yang lebih menekankan pada aktivitas siswa. Hal ini karena pembelajaran
matematika dengan RME akan menyajikan konsep matematika abstrak menjadi konkrit. Bagi
siswa penelitian ini diharapkan memberi kesempatan kepada siswa untuk secara aktif
mengkonstruksi pengetahuan yang dipelajari dan memberi kesempatan kepada siswa untuk
4
mengalami proses pembelajaran yang lebih menekankan pada aktifitas fisik dan mental untuk
menemukan konsep dan meminimal komunikasi lisan. Bagi guru penelitian ini diharapkan
memberikan informasi tentang pendekatan RME, memberi gambaran tentang penerapan
pendekatan RME pada mata pelajaran matematika materi perkalian bagi siswa tunarungu dan
bahan referensi yang dapat menginspirasi guru untuk mendesain dan melaksanakan RME pada
materi selanjutnya.
PENDEKATAN RME
Sagala (2005:68) mengenai pengertian pendekatan berpendapat bahwa pendekatan
pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam mencapai
tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu.
Freudhental (Wijaya, 2012:20), mengemukakan bahwa “matematika merupakan suatu
bentuk aktivitas manusia” melandasi adanya pengembangan RME terdiri dari dua proses
matematisasi yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Selain itu, Susanto (2013:205)
menyatakan bahwa RME merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi
pada siswa dengan mewujudkan aktivitas siswa secara nyata yang dihubungkan dengan
konteks kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain pengalaman belajar berpusat pada hal yang
nyata atau real.
Terdapat beberapa karakteristik RME menurut Teffers (Wijaya, 2012:21) yaitu
penggunaaan kontekstual, penggunaan model untuk matematisasi progesif, pemanfaatan hasil
konstruksi siswa, interaktivitas dan keterkaitan.
1. Penggunaan kontekstual
Penggunaan konstekstual adalah penggunaan masalah yang bersifat realistik sebagai dasar
atau awal pembelajaran. Penggunaan masalah realistik bukan berarti permasalahan yang ada
dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan permasalahan realistik pada RME adalah
penggunaan permainan, alat peraga atau situasi lain yang dapat dibayangkan oleh pikiran
siswa. Penggunaan kontekstual sebagai awal pembelajaran membuat siswa terlibat aktif dalam
pembelajaran dan dapat membuat siswa mengeksplor permasalahan yang terjadi sehingga akan
mengembangkan strategi pembelajaran yang beragam.
2. Penggunaan model untuk matematisasi progesif
Penggunaan model untuk matematisasi progesif dalam RME digunakan sebagai
penghubung dari pengetahuan dan matematika yang bersifat konkrit atau nyata ke matematika
yang bersifat formal atau abstrak. Penggunaan kata “model” tidak berarti alat peraga. Kata
“model” disini adalah berarti suatu alat vertikal dalam matematika yang tidak bisa dipisahkan
dengan proses matematisasi. Secara umum matematisasi dalam RME terdapat dua proses yaitu
5
generalisasi dan formalisasi. Generalisasi berkaitan dengan pencarian pola dan hubungan,
sedangkan formalisasi melibatkan pemodelan, simbolisasi, skematisasi dan pendefinisian. De
Lange (Wijaya, 2012: 42) membagi matematisasi menjadi dua, yaitu matematisasi horizontal
dan matematisasi vertikal. Matematika horizontal berkaitan dengan proses generalisasi,
sedangkan matematika vertikal merupakan bentuk proses formalisasi. Model matematika yang
diperoleh pada matematika horizontal menjadi dasar dalam pengembangan konsep matematika
yang lebih formal melalui proses matematisasi vertikal.
3. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
Dalam pembelajaran dengan pendekatan RME, matematika tidak diberikan sebagai sesuatu
produk yang siap dipakai atau istilahnya matematika tidak disajikan dalam bentuk rumus jadi,
tetapi matematika dalam RME akan diberikan menjadi suatu konsep yang dibangun oleh siswa
sendiri. Siswa tidak dibatasi dalam dengan sebuah produk siap jadi tapi siswa diberikan pilihan
bebas untuk mengeksplor dan mengembangkan strategi dalam pemecahan masalah. Melalui
tahap ini siswa diharapkan akan memiliki banyak strategi pemecahaman masalah yang lebih
bervariasi. Hasil kerja dan konstruksi siswa akan digunakan sebagai landasan pengembangan
konsep matematika.
Dalam pembelajaran matematika dengan RME, tidak hanya membantu siswa untuk
memahami konsep matematika, namun juga bermanfaat untuk mengembangkan kreativitas dan
keaktifan yang ada dalam diri siswa.
4. Interaktivitas
Proses belajar seseorang siswa bukan hanya proses belajar individu, namun juga merupakan
proses belajar sosial. Proses belajar yang dilakukan akan lebih cepat dan lebih bermakna
apabila dalam proses belajar ada saling mengkomunikasikan ide, gagasan, hasil kerja dan
pemikiran yang dimiliki satu sama lain.
Interaksi dalam pembelajaran matematika akan bermanfaat dalam proses pengembangan
kognitif dan afektif siswa secara simultan.
5. Keterkaitan
Konsep pembelajaran dalam matematika tidak bersifat sendiri-sendiri, namun banyak
konsep matematika yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. RME menempatkan
keterkaitan antara konsep-konsep matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam
proses pembelajaran. Melalui keterkaitan dalam RME ini maka diharapkan siswa dapat
membangun lebih dari satu konsep matematika, meskipun terdapat konsep yang lebih dominan.
Berkaitan dengan proses pengembangan konsep matematika, terdapat 3 prinsip utama
pendekatan RME menurut Sarigah (2007: 45-46) yaitu (a) prinsip pertama, penemuan
6
terimbing. Maksudnya adalah siswa diberikan kesempatan menemukan konsep sendiri dengan
menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Bermatematika secara progresif adalah matematika
horizontal dan matematika vertikal. Matematika horizontal adalah siswa akan mengidentifikasi
dari soal kontekstual ke bentuk matematika model, diagram, tabel untuk lebih dipahami.
Matematika vertikal adalah siswa menyelesaikan bentuk formal atau informal dari soal
kontekstual. (b) prinsip kedua, adanya fenomena pembelajaran yang menekankan pentingnya
soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada peserta didik dengan
mempertimbangkan kecocokan aplikasi konteks dalam pembelajaran dan kecocokan dampak
dalam proses penemuan kembali bentuk dan model matematika dari soal kontekstual tersebut.
(c) Prinsip ketiga, pengembangan model mandiri berfungsi untuk menjembatani antara
pengetahuan matematika nonformal dengan formal dari peserta didik. Model matematika
dimunculkan dan dikembangkan secara mandiri berdasarkan model-model matematika yang
telah diketahui peserta didik. Diawali dengan soal kontekstual dari situasi nyata yang sudah
dikenal peserta didik kemudian ditemukan model dari (modelof) dari situasi tersebut (bentuk
informal) dan kemudian diikuti dengan penemuan model untuk (model for) dari bentuk tersebut
(bentuk formal), hingga mendapatkan penyelesaian masalah dalam bentuk pengetahuan
matematika.
Pendekatan RME dikatakan sejalan dengan kurikulum saat ini, hal ini juga dikuat oleh
Wijaya (2012:28) yang menyatakan bahwa proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi
merupakan karakteristik dari Pendidikan Matematika Realistik. Proses ekplorasi yang terdapat
dalam RME yaitu dengan penggunaan konteks sebagai awal dari pembelajaran untuk
memberikan kesempatan yang bebas kepada siswa untuk mengeksplor dalam strategi
penyelesaian masalah. Selain untuk eksplorasi, penggunaan konteks awal ini dapat
meningkatkan minat dan motivasi siswa. Proses elaborasi yaitu penemuan dan pengembangan
konsep akan muncul dan inilah yang disebut dengan proses elaborasi. Proses konfirmasi akhir
dari tahap pembelajaran adalah proses konfirmasi yang akan menguatkan hasil dari proses
eksplorasi dan elaborasi. Melalui adanya proses konfirmasi, maka gagasan siswa tidak hanya
diinformasikan ke siswa lain, namun juga dapat dikembangan berdasarkan tanggapan dari
siswa lain.
METODE
Dilihat dari fokus dan kaitan antar variabel yang dilibatkan dalam penelitian ini, maka
penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental. Dantes (2012: 94) menyatakan istilah
eksperimen mengindikasikan atau menunjukan suatu perlakuan. Rancangan eksperimen yang
digunakan pada penelitian ini tidak terdapat kelompok pembanding dan randomnisasi.
7
Perlakuan ini diberikan pada kelompok yang telah terbentuk apa adanya. Bentuk rancangannya
adalah One Shot-Case Study. Rancangan ini adalah rancangan yang paling sederhana, karena
perlakuan diberikan terhadap suatu kelompok, selanjutnya dilakukan pengambilan data,
mengingat jumlah individu yang diteliti terlalu sedikit.
Subjek dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik sampling jenuh,
dimana semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Subjek dalam penelitian ini adalah
semua siswa kelas II SDLB Wantu Wirawan Salatiga yang berjumlah 3 orang dengan inisial
Ra, Ri dan Mi. Data yang digunakan untuk mengevaluasi penelitian ini adalah dengan tes
uraian sebanyak 10 soal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertemuan Pertama:
Pada pertemuan pertama dengan indikator konsep perkalian menggunakan tahap Brunner dan
karakteristik RME, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Memasukkan bola ke dalam keranjang
Peneliti memasukkan bola ke dalam keranjang sesuai dengan gambar 1. 1 kemudian subjek
diminta untuk menghitung jumlah bola. Selanjutnya subjek dituntun ke tahap I dan tahap II.
Proses ini dilakukan berkali-kali dengan perkalian yang berbeda.
Contoh: 3 + 3 + 3 + 3 = 12 ( I )
4 x 3 = 12 (II)
Gambar 1 Contoh sajian perkalian dengan bola dan keranjang
Langkah ini memenuhi karakteristik RME penggunaan kontekstual, penggunaan model untuk
matematisasi progesif, pemanfaatan hasil konstruksi dan tahap Brunner yaitu tahap enaktif.
2. Membagikan permen
Peneliti memberikan permen ke 3 subjek dan masing-masing diberikan 5 buah. kemudian
subjek diminta untuk menghitung jumlah permen yang didapat. Selanjutnya subjek dituntun
ke tahap I dan tahap II. Proses ini dilakukan berkali-kali dengan perkalian yang berbeda.
.
Contoh: 5 + 5 + 5 = 15 ( I )
3 x 5 = 15 ( II )
Ra Ri Mi
8
Gambar 2 Contoh sajian perkalian dengan menggunakan permen
Langkah ini memenuhi karakteristik RME penggunaan kontekstual, penggunaan model untuk
matematisasi progesif, pemanfaatan hasil konstruksi dan tahap Brunner yaitu tahap enaktif.
3. Pemberian masalah kontekstual dengan cerita beruntun menggunakan gambar bergerak
Contoh salah satu soal dalam gambar bergerak yang disajikan adalah sebagai berikut.
Gambar 3 Salah satu contoh sajian soal cerita dalam gambar bergerak
Langkah ini memenuhi karakteristik RME penggunaan kontekstual, interaktivitas dan tahap
Brunner yaitu tahap ikonik.
4. Subjek diberikan soal pada kegiatan 1 untuk refleksi
Gambar 4 Sajian permasalahan kontekstual dalam LKS
Langkah ini memenuhi karakteristik RME yaitu penggunaan kontekstual, penggunaan model
untuk matematika progesif,interaktivitas, keterkaitan dan tahap Brunner yaitu tahap simbolik.
Pertemuan Kedua:
Pada pertemuan kedua dengan indikator sifat perkalian yaitu komutatif menggunakan tahap
Brunner dan karakteristik RME, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Memasukkan bola ke dalam keranjang
9
Peneliti meminta subjek Ra membuat 3 x 2 dengan bola dan keranjang, kemudian Mi
membuat 2 x 3 dengan bola dan keranjang seperti pada gambar 2. 1. Proses ini dilakukan
berkali-kali dengan perkalian yang berbeda dan dengan ketiga subjek tersebut.
Contoh: 2 + 2 + 2 = 6 ( I ) 3 + 3 = 6 (III)
3 x 2 = 6 (II) 2 x 3 = 6 (IV)
Gambar 5 Contoh sajian sifat komutatif dalam perkalian dengan bola dan keranjang
Langkah ini memenuhi karakteristik RME penggunaan kontekstual, model untuk
matematisasi progesif, pemanfaataan hasil konstruksi siswa, interaktivitas, keterkaitan dan
tahap Brunner yaitu tahap enaktif.
2. Subjek diberikan soal pada kegiatan 2 dan tiap subjek mendapat soal yang berbeda
Gambar 6 Sajian soal perkalian dalam LKS
Langkah ini memenuhi karakteristik RME Model untuk matematisasi progesif, pemanfaatan
hasil konstruksi siswa dan tahap Brunner yaitu tahap ikonik.
10
3. Setelah subjek mengerjakan pada langkah 2 maka subjek yang sudah selesai akan
mengambil hasil perkalian pada kotak angka dan akan menempelkabn pada tabel perkalian.
Gambar 7 Tabel Perkalian
Deskripsi Hasil Tes
a. Subjek Ri
Subjek Ri dikatakan memiliki pemahaman perkalian yang benar karena dari 10 soal uraian
terdapat 9 soal benar dan 1 soal salah hanya pada hasil perkaliaannya yaitu nomor 6.
Gambar 3. 1
b. Subjek Ra
Subjek Ra dikatakan memiliki pemahaman perkalian yang benar karena dari 10 soal uraian
terdapat 7 soal benar dan 3 soal salah pada hasil perkalian yaitu nomer 4, 6 dan 7. Berikut
adalah salah satu nomor yang salah
Gambar 3. 2
c. Subjek Mi
Subjek Mi dikatakan memiliki pemahaman perkalian yang benar karena dari 10 soal uraian
terdapat 6 soal benar dan 2 soal salah pada hasil perkaliaannya saja yaitu nomor 4 dan
11
6,kemudian 2 salah dalam tahap pengubahan penjumlahan berulang ke tahap perkalian dan
hasil perkaliannya yaitu nomor 7 dan 9.
Gambar 3. 3
Dari ketiga subjek tersebut dapat dilihat bahwa subjek Ri, Ra, dan Mi sudah memahami konsep
perkalian secara benar, hanya ketiga subjek dalam melakukan perhitungan hasil perkalian
masih melakukan kesalahan karena kurang teliti dan kurang tepatnya dalam menghitung.
PENUTUP
Pada penelitian ini maka kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa implementasi
RME dapat menghasilkan pemahaman konsep perkalian yang benar pada siswa tunarungu
kelas II di SDLB Wantu Wirawan Salatiga.
Berdasarkan kesimpulan penelitian yang telah dipaparkan di atas, beberapa saran dapat
diajukan sebagai berikut:
1) Guru dapat mendesain pembelajaran dengan menggunakan pendekatan RME yang
lebih menekankan pada aktifitas fisik dan mental untuk menemukan konsep dan
meminimal komunikasi lisan.
2) Sekolah diharapkan selalu memfasilitasi dan mendukung para guru di dalam
mengembangkan atau memberikan model pembelajaran yang mengacu pada aktivitas
siswa, sehingga tujuan daripada sekolah bisa tercapai secara optimal.
3) Bagi peneliti lain dapat mendesain RME siswa berkebutuhan khusus lainnya atau
dengan materi matematika yang lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2010. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka
Cipta
Aisyah, Nyimas,dkk. 2007. Pengembangan Pembelajarn Simetri lipat SD. Jakarta: Direktorat
Jendral pendidikan tinggi departemen pendidikan nasional, (online),
(http://newbornagain.wordpress.com), diakses 15 Januari 2014
Budiningsih, 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rinika Cipta
12
Dantes, Nyoman. 2012. Metode Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset.
Ichwatun, Anti. 2015. Pengaruh Metode RME (Realistic Mathematic Education) Berbasis
Scientific Approach Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Mapel Matematika Materi Sifat
Bangun Datar Kelas III Mi Nu 05 Tamangede Kec. Gemuh Kab. Kendal. Skripsi:
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Walisongo
Sagala, Syaiful. (2005). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.
Saragih, S. 2007. Pengembangan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematika
Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui PMR. Disertasi Bandung : PPS UPI.
Suharmini, Tin. 2009. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogjakarta: Kanwa Publisher
Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: PT.
Karisma Putra Utama.
Suwarsono, St. (2001). Beberapa permasalahan yang terkait dengan upaya implementasi
pendidikan matematika realistik di Indonesia. Makalah disampaikan pada seminar
nasional tentang Pendidikan Matematika Realistik tanggal 14-15 November
2001.Yogyakarta
Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti, Depdikbud
Sofiana. 2015. Peningkatan Hasil Belajar Operasi Hitung Bilangan Pecahan Melalui
Pendekatan Matematika Realistik Pada Siswa Kelas V Sd Negeri 3 Grenggeng. Skripsi:
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Universitas Negeri Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik. Yogjakarta: Graha Ilmu
Wisnu, Romanus. 2014. Peningkatan Hasil Belajar Siswa Menggunakan Pendekatan RME
Melalui Media Visual Mata Pelajaran Matematika Pada Siswa Kelas III Semester 2 SD
Kanisius Kaliwinong Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran
2013/2014. Skripsi: Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas
Kristen Satya Wacana.