IRMA INDRAYANI
LIBERALISASI RUANG UDARA
DI ASEAN IMPLEMENTASI ASEAN SINGLE AVIATION MARKET
(ASAM)
IRMA INDRAYANI
LIBERALISASI RUANG UDARA DI ASEAN
IMPLEMENTASI ASEAN SINGLE AVIATION MARKET (ASAM)
Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Copyright : INDRAYANI, IRMA
LIBERALISASI RUANG UDARA DI ASEAN IMPLEMENTASI ASEAN SINGLE AVIATION MARKET (ASAM)
Editor : DR. IRMA INDRAYANI., SIP., M.SI
Penata Letak/Cover : LPU-UNAS
Penulis : Irma Indrayani
Cetakan 1 : 2018
ISBN : 978-602-0819-54-9
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
Penerbit :
Lembaga Penerbitan Universitas Nasional Jakarta (LPU-UNAS)
Jl. Sawo Manila, No. 61. Pejaten. Pasar Minggu.
Jakarta Selatan. 12520. Telphon : 021-78837310/021-7806700
(hunting). Ex. 172. Fak : 021-7802718
KATA PENGANTAR
Perkembangan revolusi transportasi dengan memanfaatkan ruang udara di ASEAN menjadi jawaban
dari globalisasi politik internasional di kawasan ASEAN. ASEAN telah memasuki abad ekonomi terbuka dan
transportasi terbuka yang akan terus berkembang di waktu-waktu mendatang. Adanya ASEAN Single Aviation
Market (ASAM) , tidak dapat dipungkiri sangat diperhitungkan dalam perkembangan ekonomi dunia karena
populasinya dan sumberdaya alam yang menjanjikan pasar ekonomi yang sangat besar di masa depan. ASAM
ini didukung dan bersamaan dengan ASEAN Open Sky yang membuktikan pentingnya perdagangan dan
transaksi di antara negara-negara anggota ASEAN khususnya dan dunia internasional. Tingkat perdagangan
yang terus meningkat memerlukan regulasi mengenai transportasi udara dan penggunaan ruang udara di
ASEAN untuk mempercepat perdagangan bebas di ASEAN yang sudah dicanangkan oleh negara-negara
ASEAN. Menyamakan standar mutu transportasi di antara negara-negara anggota ASEAN menjadi persoalan
yang sangat penting dalam mewujudkan Asean Open Sky dan kedaulatan negara-negara di ASEAN. Buku ini
memberikan informasi bagaimana liberalisasi ruang udara di ASEAN.
Jakarta, Pebruari 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Industri Penerbangan dan Hubungan Internasional ........... 1
Kajian Literatur ................................................................... 9
Kajian Liberalisasi Ruang Udara Dalam Kawasan Asia Tenggara 11
Teori Dalam Studi Hubungan Internasional ........................ 12
Kedaulatan Wilayah Negara ............................................... 14
Kedaulatan Negara diruang Udara ...................................... 16
Standarisasi ASEAN Open Sky ......................................... 25
Asean Open Sky .................................................................. 29
Kebijakan Open Sky ASEAN-Implikasinya Bagi Indoensia 47
Kondisi Penerbangan Domestik ........................................... 50
Gagasan ASEAN Open Skies di Indonesia dan
Kaitannya Dengan Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia ... 52
Teori Kedaulatan Negara dan ASEAN Open Skies ............ 59
Asas Resiprositas ............................................................... 62
Prinsip Cabotage ............................................................... 65
Strategi atau Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Mengha-
dapi Implikasi Penerapan Kabijakan ASEAN Open Skies
dari Segi Pertahanan dan Keamanan .................................... 72
Penerapan ASEAN Open Sky Policy di Indonesia : Antara
Harapan dan Kenyataan ...................................................... 119
Konsumen Pihak Yang Diuntungkan Dalam ASEAN
Open Sky 2015 ..................................................................... 126
Keunggulan Bandara Sebagai Regulator Penerbangan ........ 133
Asean Open Sky dan Industri Pariwisata Nasional .............. 159
Peran Transportasi Udara Nasional Indonesia ..................... 163
Analisis Swot Asean Open Sky dari Perspektif Indonesia... 169
Wilayah Udara Indonesia ................................................... 170
Indonesia di ASEAN .......................................................... 171
SIMPULAN SWOT ............................................................ 172
Open Sky di Indonesia ........................................................ 184
DAFTAR PUSTAKA ......................................................... 189
LIBERALISASI RUANG UDARA DI ASEAN
IMPLEMENTASI ASEAN SINGLE AVIATION MARKET (ASAM)
INDUSTRI PENERBANGAN DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
Revolusi industri yang berlangsung sampai detik ini menyebabkan berkembangnya isu dalam politik
hubungan internasional secara dinamis dengan kecepatan yang tidak bisa diprediksi. Studi Hubungan
Internasional dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan konstelasi politik yang terus berkembangan
tersebut guna memperoleh kemajuan bagi disiplin ilmu ini dan sebesar-besarnya bermanfaat bagi umat
manusia. Penelitian ini diadakan sebagai suatu upaya dalam melihat salah satu isu yang terjadi dalam bidang
dunia kedirgantaraan dan ruang udara pada khususnya.
Perubahan dewasa ini, isu-isu yang menyangkut ruang udara dimanfaatkan perannya sebagai instrumen
untuk mencapai cita-cita politik bagi suatu negara. Dalam waktu dua dekade ini, perkembangan dalam
transportasi moda udara mengalami perubahan kebijakan-kebijakan sesuai dengan arus globalisasi. Bentuk
kerjasama yang banyak terjadi dilakukan dalam politik internasional adalah liberalisasi ruang udara dengan
skema Open Skies. Buku ini membahas dan menganalisa mengenai kedaulatan ruang udara Indonesia yang
memiliki implikasi dengan kebijakan Open Skies dalam kawasan Asia Tenggara.
Liberalisasi ruang udara tersebut terumuskan dalam ASEAN Single Aviation Market (ASAM), yang
disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bali Concord II pada tahun 2003. Hal tersebut merupakan
suatu usaha dalam menjembatani konektivitas interaksi antar masyarakat dalam negara-negara anggota ASEAN
dan dengan dunia internasional melalui media ruang udara. Bagi Indonesia, kebijakan liberalisasi ruang udara
melalui skema Open Skies memiliki makna dengan semakin terbukanya jalur lalu lintas penerbangan di atas
wilayah ruang udara Indonesia untuk penerbangan asing.
Hal tersebut dilihat oleh Indonesia sebagai suatu ancaman terhadap kedaulatan wilayah ruang udara.
Potensi ancaman tersebut dapat terlihat melalui adanya hak melintas (Freedoms of the Air) yang tedapat pada
ASEAN Single Aviation Market, sehingga memungkinkan terjadinya pelanggaran black flight. Dan keberadaan
ruang udara wialayah Indonesia yang sampai saat ini dikuasai oleh otoritas Singapura, tepatnya ruang udara di
atas wilyah Kepualauan Riau. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi respon indonesia dalam menerapkan
strategi-strategi guna mengantisipasi potensi ancaman tersebut. Strategi yang dilakuan oleh indonesia
menyangkut aspek domestik dan aspek internasional.
Aspek domestik yang dilakukan oleh Indonesia merupakan pembenahan kedalam yang terlihat dari sisi
perundang-undangan, revitalisasi infrastruktur penunjang penerbangan, serta penigkatan kemampuan dan
kompetensi dari regulator dan operator penerbangan Indonesia. Aspek internasional yang dilakukan oleh
Indonesia terkait diplomasi Indonesia untuk kembali menjadi anggota Dewan ICAO dan implementasi
USOAP, sebagai instrumen kekuatan politik bagi Indonesia untuk berbicara dalam dunia penerbangan sipil
internasional sebagai penilaian kemampuan serta citra negara terhadap dunia penerbangan.
Keputusan untuk meliberalisasi ruang udara pada kawasan Asia Tenggara, memberikan implikasi
langsung bagi negara-negara anggota ASEAN lainnya. Dengan keberadaan serta implementasi ASEAN Single
Aviation Market (ASAM), diharapkan bahwa negara-negara ASEAN akan memiliki keuntungan secara sosio-
ekonomi melalui beberapa peningkatan indikator yang ada.
Namun, ada juga pihak-pihak yang memiliki rasa skeptis mengenai kebijakan liberalisasi ruang udara
dalam kawasan Asia Tenggara, mengingat disparitas yang dimiliki menyangkut persiapan dan kemampuan
antara negara-negara anggota ASEAN. Penelitian ini merupakan kajian analisis implikasi kebijakan liberalisasi
penerbangan pada kawasan Asia Tenggara dengan skema open skies, terhadap kedaulatan wilayah ruang udara
Indonesia. Kebijakan ASAM yang diberlakukan, menyebabkan terbukanya jalur-jalur penerbangan (airways)
dalam ruang udara Indonesia, berbagai penerbangan asing yang akan mendarat (landing) maupun hanya
melintas (over fly).
Secara sosio-eko-geografis keberadaan letak Indonesia berada di persimpangan jalan, sehingga potensi
sektor ekonomi yang didapat sangat besar karena potensi jumlah populasi serta luas wilayah negara yang
dimiliki. Namun disisi lain, potensi akan ancaman kedaulatan semakin terbuka lebar dengan keberadaan
ASAM. Hal tersebut dapat dilihat dari kesiapan dan persiapan khususnya yang berkaitan langsung dengan
infrastruktur-infrastruktur penunjang penerbangan, maupun kebijakan-kebijakan terkait yang dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia.
Association of South East Asian Nation (ASEAN) secara letak dan kondisi geografis berada diantara
jaring strategis niaga global yang terhubung dengan benua-benua lainnya. Kawasan ASEAN memiliki jumlah
total populasi Mencapai 622 juta, dimana perputaran roda perekonomian yang terjadi di dalamnya sangat
dinamis serta masif dan merupakan kekuatan ekonomi terbesar ke 7 dunia.
Sejak berdiri menjadi organisasi regional, ASEAN meletakkan kerjasama dalam biang ekonomi sebagai
suatu agenda fundamental yang wajib dikembangkan dan diimplementasikan oleh negara-negara anggota. Pada
fase-fase awal berdirinya, kerjasama ASEAN dalam bidang ekonomi bertumpu pada pemberian preferensi
perdagangan (trade preferences), usaha patungan (joint 1 Association of South East Asian Nations (ASEAN)
terbentuk pada 8 Agustus 1967. Sepuluh negara-negara anggota ASEAN terdiri dari: Indonesia, Malaysia,
Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Filipina dan Myanmar.
Pada akhir dekade 80an sampai awal dekade 90an, dunia internasional dan pemerintahan negara-negara
anggota ASEAN merespon postif perubahan yang terjadi lingkungan internasional. Hal tersebut didasari bahwa
cara terbaik adalah dengan saling berkerjasama dalam membuka perekonomian negara-negara anggota
ASEAN, yang bertujuan untuk integrasinya kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan.
Salah satu cara yang dilakukan dengan mengimplementasikan kebijakan liberalisasi ruang udara di
kawasan Asia Tenggara untuk tujuan komersial. Liberalisasi ruang udara tersebut terumuskan dalam ASEAN
Single Aviation Market (ASAM), yang disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bali Concord II pada
tahun 2003. Hal tersebut merupakan satu usaha dalam menjembatani konektivitas interaksi antar masyarakat
dalam negara-negara anggota ASEAN dan dengan dunia internasional melalui media ruang udara.
Pada prinsipinya, AEC mempunyai tujuan single market dan production base melalui aliran bebas
komoditas barang, jasa, investasi, dan modal yang terwujud pada tahun 2020. AEC merupakan cita-cita
bersama para pemimpin pemerintahan ASEAN, sebagai bentuk usaha dalam mensejahterakan dan memajukan
masyarakat di kawasan Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Implementasi dari kebijakan ASAM mulai berlaku pada 30 Juni 2015, yang pada dasarnya mencakup
deregulasi dari peraturan-peraturan sampai penghapusan kendali pemerintah atas penetapan harga transportasi
udara di negara-negara anggota ASEAN. Open Skies mendorong terjadinya iklim kompetisi antar maskapai
penerbangan, serta memungkinkan maskapai-maskapai dari negara ketiga dapat melayani rute-rute yang ada di
antara dua negara. Selain itu, maskapai-maskpai tersebut diberikan keleluasaan dalam mengembangkan
ruterute serta jaringan pelayanan yang akan dipilih. Liberalisasi ruang udara dalam skema Open Skies tersebut
memberikan fleksibilitas kepada perusahaan maskapai penerbangan, yang memiliki konsepsi kebijakan berupa:
1. Semua Bandar udara Internasional terbuka untuk perusahaanperusahaan penerbangan asing;
2. Pelaksanaan rute-rute penerbangan beradasarkan market demand dan bukan letak geografis;
3. Kebebasan dalam menetapkan kapasitas dan frekuensi;
4. Pertukaran hak kebebasan di udara (Freedoms of the Air) sampai ke lima;
5. Tarif menggunakan sistem double disapproval;
6. Penunjukan perusahaan-perusahaan penerbangan tidak terbatas;
7. Penerbangan tidak berjadwal (charter) merupakan pesaing (competitor) dari penerbangan berjadwal
(scheduled airlines) dan bukan sebagai pendukung;
8. Perusahaan-perusahaan penerbangan bebas menetapkan bentuk dan melakukan kerjasama dengan
perusahaan penerbangan manapun;
9. Pelaksanaan multi moda transportasi terbuka bagi perusahaanperusahaan penerbangan asing;
10. Kebebasan angkutan khusus kargo (freight).
Dengan keberadaan serta implementasi kebijakan ASEAN Single Aviation Market, diharapkan bahwa
negara-negara anggota ASEAN memiliki keuntungan secara sosio-ekonomi melalui beberapa indikator yang
ada. Dampak langsung bagi dunia penerbangan di kawasan Asia Tenggara adalah tarif yang lebih rendah serta
pelayanan yang lebih baik karena adanya persaingan bebas antar maskapai. Tentunya para calon penumpang
tersebut akan mendapatkan berbagai macam pilihan maskapai sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Keuntungan sekunder merupakan sektor pariwisata dapat terkena langsung manfaat Open Skies. Selain itu,
pendapatan devisa kepada pemerintah, efek valuta asing, lapangan perkerjaan, konektivitas, dan perbaikan
komunikasi bisnis dari negara-negara ASEAN juga ikut terangkat dengan keberadaan ASEAN Single Aviation
Market.
Keadaan geografis Indonesia mendapat legitimasi dunia internasional melalui United Nations
Conference on the Law of the Sea (UNCLOS) III 1982. Sebagai negara dengan konsep kepulauan (archipelagic
state), Indonesia terdiri dari 17.580 pulau dengan luas 5,5 Juta km2. Selain memiliki luas wilayah yang diakui
United Nations Convention on the Law of the Sea III 1982, mulai berlaku efektif pada 16 November 1994 satu
tahun setelah Guyana sebagai negara ke 60 yang meratifikasi Konvensi tersebut. Indonesia meratifikasi melalui
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS III pada tanggal 31 Desember 1985.
Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan besar, Indonesia merupakan
negara dengan tingkat populasi terpadat ke 4 dunia dengan total 254,5 Juta penduduk. Kedua faktor tersebut
dan dengan keberadaan 5 (lima) Bandar udara internasional , implementasi kebijakan ASEAN Single Aviation
Market merupakan kesempatan emas bagi Indonesia dalam mengangkat potensi di semua lini sektor
perekonomian.
Namun, mengadopsi kebijakan ASEAN Single Aviation Market secara tidak langsung mengurangi
kemutlakan wilayah kedaulatan Indonesia, yang memiliki implikasi sosial-politik serta pertahanan dan
keamanan di dalamnya. Potensi keuntungan ekonomi yang didadapat oleh Indonesia dalam kebijakan Open
Skies Asia Tenggara, harus diikuti pula dengan pertimbangan-pertimbangan dari kebijkan politik dan lainnya.
Hal tersebut menjadikan Indonesia harus mempersiapkan diri secara menyeluruh dalam sektor yang
bersinggungan langsung dengan dunia penerbangan dan melihat ruang udara sebagai suatu aset strategis
kepentingan nasional yang dimiliki. Masalah lalu lintas dalam dunia penerbangan tidak dapat dilepaskan dari
masalah kedaulatan negara di ruang udara.
Menurut Frans Likadja, wilayah suatu negara merupakan lingkungan berlakunya ketentuan hukum
nasional negara yang tidak terbatas pada panjang dan lebar saja, akan tetapi juga sampai pada tanah di bawah
dan ruang udara di atasnya.
Pesawat-pesawat udara yang dalam melakukan penerbangannya hendak memasuki dan melintasi ruang
udara nasional suatu negara, hanya dapat melalui jalur-jalur udara yang sudah ditetapkan oleh negara kolong
yang besangkutan. Semua pesawat baik yang hanya melintas secara international routes atau domestic routes
maupun yang akan mendarat (landing), harus melaporkan diri (contact) pada instansi negara kolong yaitu
kepada Flight Information Service NKRI, (FIS) yang bertanggung jawab pada suatu Flight Information Region
(FIR). Sifat tertutup tersebut adalah demi keamanan dan pertahanan dari negara kolong dengan ruang udara
sebagai media gerak yang rawan.
Bagi Indonesia, kebijakan liberalisasi ruang udara melalui skema Open Skies memiliki makna dengan
semakin terbukanya jalur lalu lintas penerbangan di atas wilayah ruang udara Indonesia untuk penerbangan
asing. Maskapai-maskapai dari negara ketiga tersebut berkepentingan untuk melakuan pendaratan di Bandar
udara sipil maupun hanya untuk melintasi wilayah Indonesia, sesuai dengan asas Freedoms of the Air yang
disepakati oleh negara-negara ASEAN. Potensi ancaman kedaulatan ruang udara Indonesia yang datang dari
celah black flight harus dicermati keberadaannya. Black flight merupakan penerbangan tidak berjadwal yang
dilakukan oleh pesawat asing dengan melintasi sebuah negara tanpa izin otoritas berwenang dari negara yang
bersangkutan. Sejak akhir tahun 2014 hingga tahun 2015 setidaknya terdapat empat kali kasus penerbangan
black fight yang terjadi di wilayah kedaulatan ruang udara Indonesia, dan baik pesawat maupun pilotnya
berhasil untuk dipaksa mendarat (force down) oleh TNI-AU.
Dalam implementasi ASAM, akan terjadi peningkatan jumlah lalu lintas (traffic) pada jalur
penerbangan, yang memiliki implikasi dengan semakin padatnya serta semakin menyulitkan para petugas Air
Traffic Controllers (ATC) dalam mengidentifikasi keberadaaan black flight dari wilayah kedaulatan ruang
udara Indonesia. Ancaman terhadap kedaulatan lainnya datang dari permasalahan mendasar yang dihadapi oleh
Indonesia, terkait dengan kualitas dan kuantitas infrastruktur penunjang penerbangan. Kekurangan dari sisi
infrastruktur tersebut berdampak pada tidak semua wilayah udara terjamah dalam yurisdiksi hukum Indonesia,
tepatnya ruang udara diatas Kepulauan Riau dikontrol oleh otoritas penerbangan sipil Singapura (Civil
Aviation Authority of Singapore/CAAS).
Secara historis, pendelegasian ruang udara tersebut dilakukan sejak tahun 1946 melalui pertemuan
Regional Air Navigation, yang diselenggarakan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO), sebagai
rumusan awal dalam penetapan FIR pada masing-masing regional belahan dunia. Hasil pertemuan tersebut
tidak menguntungkan bagi Indonesia, keputusan ICAO menunjuk Singapura yang memiliki otoritas dalam
mengontrol wilayah udara Kepulauan Riau berdasarkan pada ketentuan Annex 11 Konvensi Chicago 1944.
ICAO melihat bahwa Indonesia belum siap dalam kemampuan untuk mengelola wilayah ruang udara diatas
Kepulauan Riau, yang pada saat itu masih berfokus pada revolusi fisik. Menarik untuk dikaji Bagaimana
korelasi implementasi ASEAN Single Aviation Market, dengan potensi ancaman kedaulatan Indonesia melalui
koridor ruang udara dan apa strategi Indonesia dalam meminimalisir potensi ancaman terhadap kedaulatan
yang masuk melalui koridor ruang udara, terkait implikasi kebijakan ASEAN Single Aviation Market?
KAJIAN LITELATUR
Beberapa kajian dilakukan oleh para peneliti mengenai liberalisasi ruang udara. Dalam dunia
internasional, terdapat beberapa perjanjian Open Skies yang bersifat bilateral dan multilateral. Adanya
perjanjian liberalisasi ruang udara tersebut didorong oleh arus globalisasi serta integrasi yang substansial.
Kajian literatur berikut melihat bagiamana liberalisasi ruang udara pada umumnya, kajian liberalisasi ruang
udara dalam kawasan Asia Tenggara, serta kajian liberalisasi ruang udara di kawasan Asia Tenggara dengan
Indonesia.
Dalam Kajian Umum Liberalisasi Ruang Udara Internasional Menurut Alves dan Forte, Open Skies
yang terimplementasi di Eropa merupakan pembentukan pasar tunggal dalam penerbangan sipil. Implementasi
mulai dilakukan sejak tahun 1987 sampai finalisasi di tahun 1993, dimana liberalisasi penerbangan membuka
kesempatan market yang sama terhadap negara anggota dari Uni Eropa (UE). Dinamika kebijakan liberalisasi
ruang udara di Eropa berjalan dengan baik dengan hampir tidak adanya ganguan berarti dalam implementasi
perjalanannya. Menurut Alves dan Forte, kesamaan pandangan politik yang terjadi di Eropa menjadikan
negara-negara anggota lebih leluasa dalam menafsirkan kebijakan kedalam perundang-undangan masing-
masing negara. Liberalisasi ruang udara di Eropa berhasil merestrukturisasi pasar penerbangan sipil yang
secara signifikan dengan komposisi lebih banyak pemain, terutama dari pangsa pasar Low Cost Carier yang
sekarang ini menjadi hal penting dari penerbangan sipil.
Dresner dan Hoon Oum, berpendapat Inisiatif untuk meliberalisasi penuh pasar transportasi udara
melalui perjanjian Open Skies sesungguhnya pertama kali datang dari Amerika Serikat. Negara tersebut
berupaya mengusulkan inisiatif Open Skies kepada negara-negara lain dalam rangka untuk mengatasi ketatnya
persaingan antara Amerika Serikat dengan Eropa pada industri jasa transportasi udara. Amerika Serikat
melakukan liberalisasi di sektor ini demi meningkatkan kemampuan kompetisi pada rute-rute internasionalnya
guna meningkatkan Jumlah penumpang dan mengambil keuntungan. Selain itu Dresner dan Tea juga berbicara
mengenai dinamika liberalisasi ruang udara di Kanada. Pada awalnya, negara tersebut cenderung untuk
bersikap membatasi diri dalam memfasilitasi pasar penerbangan global. Namun secara perlahan, setelah
membuat perjanjian open skies dengan Amerika Serikat memberi kontribusi secara signifikan atas penerimaan
jumlah penumpang yang akan bepergian langsung ke Kanada.
KAJIAN LIBERALISASI RUANG UDARA DALAM KAWASAN ASIA TENGGARA
Alan mengemukakan bahwa liberalisasi ruang udara dalam kawasan Asia Tenggara diperlukan
keberadaannya sebagai efek dari globalisasi yang menjalar disemua sektor. Perkembangan dunia penerbangan
sipil di kawasan Asia Tenggara dalam kurun waktu dua dekade, menjadikan industri kedirgantaraan sebagai
tulang punggung dalam perkembangan ekonomi yang dirasakan oleh negara-negara ASEAN.
Namun disisi lainnya, Alan melihat terdapat disparitas pembangunan ekonomi dan kapsitas industri
antar Negaranegara anggota ASEAN, sehingga belum adanya suatu konsensus diantara mereka dalam
liberalisasi ruang udara pada kawasan Asia Tenggara.
Dengan demikian dibutuhkan sinergi diantara para pemimpin ASEAN, khususnya insentif negara-
negara yang lebih siap dalam meliberalisasi raung udaranya kepada yang masih dan sedang membangun
industri penerbangan sipil. Oleh karenanya, sinergi yang terjadi diharapkan menciptakan masyarakat ekonomi
ASEAN yang makmur melalui ASEAN Single Aviation Market.
Forsyth, King, Rodolfo, dan Trace, melihat apakah ASEAN Single Aviation Market berisi ketentuan
yang benar-benar secara liberal membuat kredibilitas rezim “ruang udara terbuka”, atau hanya akan berakhir
menjadi pasar tunggal semata. Prospek dalam mencapai kesepakatan mengenai liberalisasi tersebut merujuk
kepada tiga poin utama yaitu akses pasar, kepemilikan modal dan kontrol hubungan eksternal. Proses
perubahan lingkungan yang cepat dari pembentukan Open Skies dalam kawasan Asia Tenggara, dilihat sebagai
suatu yang mengancam negara-negara kecil ASEAN jika tidak segera mengintegrasikan pasar penerbangan
sipil mereka.
Secara garis besar, Saraswati dan Hanaoka menyoroti kemauan Indonesia dalam melihat kebijakan
liberalisasi ruang udara di kawasan Asia Tenggara sebagai suatu peluang. Namun disisi lainnya, Indonesia
masih menemui kendala-kendala domestik sebagai penyebab terhambatnya implementasi kebijakan tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Saraswati dan Haoka dimulai dengan meninjau kebijakan tentang penerbangan
dan pembangunan industri di Indonesia yang berhubungan dengan jasa layanan transportasi moda udara.
Indonesia dirasa masih enggan menuju implementasi ASEAN Single Aviation Market, karena permasalahan
timbal balik serta manfaat yang akan diterima. Selain itu, ratifikasi perjanjian yang dilakukan oleh Indonesai
dilaksanakan secara bertahap untuk memberikan waktu tenggang guna menyesuaikan keadaan infrastruktur
industri penerbangan yang dimiliki oleh Indonesia. Hal tersebut menjadi penting keberadaannya, mengingat
kapasitas dan kualitas infrastruktur tetap menjadi tantangan besar bagi Indonesia dalam meliberalisasi ruang
udara untuk tujuan komersil.
Penulisan buku ini menggunakan alat analisa berupa fenomena yang ada terkait dengan penjelasan
umum mengenai teori dalam studi Hubungan Internasional, kemudian mengerucut pada kedaulatan wilayah
negara, selanjutnya difokuskan mengenai kedaulatan negara di ruang udara yang terkait dengan kemutakhiran
teknologi.
TEORI DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
Ilmu Hubungan Internasional pada hakikatnya merupakan suatu bidang kajian tentang kesatuan
interaksi serta sosialisasi dengan ruang lingkup yang bersifat global. Mochtar Mas’oed, mendefinisikan Ilmu
Hubungan Internasional sebagai studi tentang interaksi antar beberapa aktor yang berpartisipasi dalam politik
internasional yang meliputi negara-negara, organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, kesatuan sub-
nasional seperti birokrasi dan pemerintah domestik serta individu-individu. Tujuan dasar studi Hubungan
Internasional adalah mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku para aktor negara maupun non-negara
didalam arena transaksi internasional. Perilaku ini bisa berwujud kerjasama, pembentukan aliansi, perang dan
konflik serta interaksi dalam organisasi internasional.
Studi pada Hubungan Internasional, memiliki teori-teori sebagai instrumen analisis dalam isu-isu yang
berkaitan dengan politik internasional. Teori merupakan hal penting dalam suatu penelitian, sebagaimana teori
dapat menjelaskan suatu fenomena-fenomena yang terjadi secara akademis dengan menggunakan akal dan
logika sehat. Jerald Hage berpendapat bahawa teori harus mengandung tidak hanya konsep-konsep dan
pernyataan-pernyataan, tetapi juga defenisi-defenisi baik teoritis maupun operasional dan pertalian, konsep dan
defenisi harus dituangkan ke dalam sejumlah istilah yang sederhana dan tegas serta pernyataan dan pertalian
harus dituangkan kedalam dasar-dasar pemikiran dan persamaan-persamaan.
Teori dalam hubungan internasional dijadikan sebagai landasan guna memahami fenomena
internasional yang dimaksud. Hal tersebut merupakan langkah teorisasi mengenai makna dasar terhadap studi
Hubungan Internasional (study of inter-states relations) yang termasuk sebagai bidang studi yang sangat tua,
didasari bahwa studi ini sudah dipelajari sejak masa Yunani Klasik.
KEDAULATAN WILAYAH NEGARA
Sebagai aktor dalam hubungan internasional, negara merupakan ujung tombak percaturan politik dunia
dengan berbagai hal keistimewanya yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial, politik, serta keamanan.
Aristoteles mendefenisikan negara sebagai kumpulan masyarakat dan setiap masyarakat dibentuk dengan
tujuan demi kebaikan, karena manusia senantiasa berindak untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap baik.
Menurut Jean-Jaques Rosseau, negara adalah perserikatan dari rakyat yang bersama-sama melindungi
dan mempertahankan hak masing-masing diri dan harta benda anggota-anggota yang tetap hidup dengan bebas
merdeka. Sedangkan dalam pandangan sosiologis berkebangsaan Jerman Max Weber, melihat negara adalah
suatu suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu
wilayah.Selain faktor keberadaan masyarakat dan adanya pemerintahan, suatu negara memerlukan wilayah
untuk bernaung sebagai daerah kedaulatannya. Dapat dikatakan bahwa kedaulatan merupakan keharusan yang
tidak terpisahkan dari komponen dari apa yang dimaksud dengan negara itu sendiri. Secara umum kedaulatan
memiliki defenisi sekumpulan hak-hak dan kompetensi yang melekat pada negara. Teoritikus besar pertama
yang berbicara tentang kedaulatan adalah filusuf politik Perancis Jean Bodin. Melalui pandangannya Bodin
melihat bahwa satu-satunya jaminan stabilitas politik dan sosial ialah dengan kedaulatan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, dalam artian bahwa hukum tesebut mencerminkan “kemauan” dari penguasa. Bodin
membagi kedaulatan menjadi empat macam:
1. Tunggal; ini berarti bahwa hanya negara yang memiliki segalanya, jadi di dalam negara itu tidak ada
kekuasaan lain untuk membentuk atau membuat undang-undang atau hukum.
2. Asli; ini berarti bahwa kekuasaan ini tidak berasal dari kekuasaan lain, bukan diberikan atau diturunkan oleh
kekuasaan lain. Jadi misalnya propinsi atau kota praja itu tidak mempunyai kedaulatan, karena kekuasaan
yang ada padanya itu tidak asli, sebab diperoleh dari pusat.
3. Abadi; ini berarti bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu adalah negara, yang
menurut pendapat Bodin negara itu adanya abadi.
4. Tidak dapat dibag-bagi; ini berarti bahwa kedaulatan itu tidak dapat diserahkan kepada orang lain atau badan
lain, baik sebagian maupun seluruhnya.
Menurut Thomas Hobbes, kebutuhan untuk berdaulat muncul dari self-seeking dan power-interested
dari sifat dasar manusia itu sendiri. Hal tersebut mempunyai makna ketika tidak ada yang menguasai
kedaulatan (diartikan dalam keadaan state of nature), kehidupan akan merosot ke dalam perang antar sesama
dan berakibat kehidupan itu menjadi terpencil, miskin, keji, kasar dan tidak bertahan lama. Oleh karena itu
Hobbes mendefenisikan kedaulatan sebagai monopoli kekuasaan koersif serta menganjurkan bahwa supremasi
kedaulatan berada dalam satu penguasa saja (baik itu kerajaan, kelompok oligarki atau bahkan demokrasi).
Pemikiran tentang kedaulatan dalam wilayah negara modern saat ini dapat kita telusuri dari apa yang
terkandung di dalam perjanjian Westphalia yang mengakhiri perang 30 tahun pada abad ke XVI di daratan
Eropa. Pada dasarnya isi perjanjian Westphalia berbicara tentang aspek legalitas kedaulatan, yang berarti
bahwa para penguasa atau kedaulatan-kedaulatan yang sah tidak akan mengakui pihak lain yang memiliki
kedudukan yang sama secara internal dalam batas-batas kedaulatan wilayah yang sama. Kesepakatan tentang
bagaimana keadaulatan disuatu negara terbentuk dalam era modern saat ini kembali dipahami melalui
Konvensi Montevideo 1933. Konvensi tersebut hanya diikuti oleh negara-negara benua Amerika saja (Pan-
American), namun hasil dari Konvensi tersebut bagaimana kedaulatan suatu negara dijadikan rujukan dari
sudut pandang Hukum Internasional.
KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA
Dalam memahami berdaulatnya suatu negara, tentunya kita harus mengerti keadaan dari batas-batas
wilayah negara itu sendiri yang merupakan tanda pemisah satu wilayah dengan wilayah lain, baik berupa tanda
alamiah maupun buatan. Penetapan dan penegasan batas batas wilayah suatu negara dirasakan sangat penting
dan mendesak yang dimana hal tersebut didasarkan semakin pesatnya perkembangan dan pertumbuhan dewasa
ini yang memerlukan ruang baru bagi kegiatan tersebut.
Wilayah dari suatu negara merupakan titik awal dalam menyelesaikan hampir semua persoalan yang
berkaitan dengan hubungan internasional dan mempunyai tiga dimensi yaitu daratan, perairan dan ruang udara.
Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat penting peranannya. Setiap negara
mempunyai sifat kedaulatan yang melekat padanya, karena kedaulatan merupakan sifat atau ciri hakiki dari
suatu negara. Suatu negara dikatakan berdaulat, maka makna yang terkandung adalah negara tersebut
mempunyai kekuasaan tertinggi dan secara de facto menguasai.
Pembahasan mengenai kedaulatan negara ruang udara dimulai dengan munculnya dalil Hukum Romawi
yang berbunyi “Cujus est solum, ejus est usque ad coelom”, yang artinya barang siapa mengasai tanah dengan
demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai kelangit dan
segala apa yang berada di dalam tanah. Sebagaimana yang diketahui menurut hukum internasional wilayah
negara terdiri dari tiga matra yaitu darat, laut dan udara. Jika wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah
daratan, wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah negara di darat dan laut.
Berdasarkan prinsip dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 194442, pesawat udara asing bersama dengan
awak pesawat mematuhi hukum serta regulasi nasional negara tempat pesawat udara tersebut melakukan
penerbangan. Hal tersebut memiliki makna walapun semua negara ikut dalam Konvensi tersebut, namun
khusus permasalahan kedaulatan negara di ruang udara bukan menjadi alasan untuk tidak mengakui kedaulatan
di wilayah ruang udara masing-masing negara.
Rumusan tentang kedaulatan ruang udara pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, tidak menunjukan
secara eksplisit sampai pada ketinggian berapa negara mempunyai kekuasaan atas delimitasi wilayahnya. Hal
tersebut menimbulkan banyak penafsiran-penafsiran berbeda, yang dimana pada saat Konvensi tersebut
dilaksanakan, dunia penerbangan masih dalam tahap pengembangan dan teknologi masih belum memadai.
Kebutuhan akan status hukum ruang udara bukan merupakan persoalan yang mendesak, walaupun
dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 merupakan usaha untuk memastikan kepastian hukum tentang adanya
hak kedaulatan ruang udara suatu negara. Priyatna Abdurasyid, Guru Besar Hukum Udara pertama Indonesia
menjelaskan: “Pada mulanya ketentuan Pasal 1 dimaksudkan untuk mengurangi sengketa di antara negara-
negara mengenai hak dan kewajiban negara bertalian dengan kedaulatannya di ruang udara, tetapi apa yang
dimaksudkan dengan sebagai suatu ketentuan yang membawa ketegasan akhirnya menjadi sumber keragu-
raguan yang baru pula”.
Konvensi internasional selalu menjadi bahan bagi perundang-undangan nasional, hal tersebut berlaku
dengan konvensi-konvensi internasional tentang penerbangan yang kemudian diadopsi kedalam perundang-
undangan nasional. Dalam tatanan yurisdiksi nasional, Indonesia mempunyai produk hukum penerbangan yang
konten-kontennya merujuk kepada perjanjian-perjanjian hukum internasional. Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan merupakan perwujudan dari kedaulatan Indonesia terhadap ruang udaranya, dengan
Pasal 5 berbunyi: “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan ekslusif atas wilayah udara
Republik Indonesia”.
Dengan jelas dalam Pasal 6 berikutnya tanggung jawab pemerintah terhadap kedaulatan atas wilayah
udara menerangkan: “Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara
Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang
udara untuk kepentingan penerbangan perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial
budaya, serta lingkungan udara”.
Konsep kedaulatan negara di ruang udara tersebut telah diatur dalam perundang undangan Indonesia,
serta meyatakan bahwa Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udaranya. Sehingga, ruang udara
tersebut menjadi bentuk wilayah Indonesia sebagai satu kesatuan politik yang berbentuk tiga dimensi.
Kesepakatan bersama negara-negara anggota ASEAN dalam menerapkan kebijakan ASEAN Single
Aviation Market, dilihat bagi Indonesia merupakan suatu potensi ancaman terhadap kedaulatan wilayah yang
masuk melalui koridor ruang udara. Potensi ancaman tersebut datang dari hak kebebasan di udara (Freedoms of
the Air) sebagai esensi dari Open Skies, yang memiliki implikasi dengan bertambahnya jalur udara (airways)
dan semakin padatnya arus lalu lintas (traffic) yang melewati wilayah kedaulatan ruang udara Indonesia.
Indonesia bereaksi dengan melakukan strategi-strategi yang diperlukan baik secara lingkup domestik maupun
internasional, untuk meminimalisir potensi ancaman terhadap wilayah kedaulatan ruang udara sebagai
konsekuensi penerapan kebijakan ASEAN Single Aviation Market.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi perubahan lingkungan dalam industri tersebut menyusul
kemunculan banyak maskapai baru yang menambah padat jumlah pemain dalam bisnis ini, adanya perubahan
situasiekonomi seperti kenaikan harga minyak yang membuat biaya operasional meningkat, krisis finansial,
maupun karena ketatnya aturan main yang diterapkan secara berbeda-beda oleh masing-masing negara. Kerja
sama ini terjadi diberbagaibelahan dunia mulai dari kawasan Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa,
Pasifik,bahkan hingga ke Asia Tenggara. terkait.Oleh karena itu selama departemen-departemen terkait
kebijakannya hanya terfokus pada pencapaian target masing-masing, maka industri penerbangan sulit
berkembang. Dalam penelitian ini kebijakan tersebut mengenai kebijakan ASEAN open sky yang telah
disetujui oleh Indonesia. Oleh sebab itu, sejauh mana persiapan yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi
kebijakan tersebut. Untuk melihat persiapan Indonesia dalam menghadapi ASEAN open sky 2015 maka
peneliti menggunakan teori integrasi ekonomi yang dikemukakan oleh Dominick Salvatore.Terdapat 5 tahapan
dalam integrasi ekonomi menurut Salvatore.
Pertama, Preferential Trade Arangements yang dibentuk oleh negara-negara yang sepakat menurunkan
hambatan-hambatan perdagangan yang berlaku di antara mereka, dan membedakannya dengan yang
diberlakukan terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Ini merupakan bentuk integrasi ekonomi yang
paling longgar.
Kedua, Free Trade Area(FTA)yaitu bentuk integrasi ekonomi yang lebih tinggi dimana semua hambatan
perdagangan tarif maupun non-tarif di antara negara-negara anggota telah dihilangkan sepenuhnya, namun
masing-masing negara anggota tersebut masih berhak untuk menentukan sendiri apakah mereka hendak
mempertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkannya
terhadap negara-negara luar yang bukan anggota.
Ketiga, Customs Union yaitu Mewajibkan semua anggota untuk tidak hanya menghilangkan semua bentuk
hambatan perdagangan di antara mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka terhadap
negara-negara luar yang bukan anggota. Jadi, masing-masing negara anggota tidak lagi bebas menentukan
kebijakan komersilnya dengan negara-negara lain.
Keempat, Common market
Pada bentuk integrasi ini, bukan hanya perdagangan barang saja yang dibebaskan, namun juga arus-arus faktor
produksi seperti tenaga kerja dan modal.
Kelima, Economic Union
Pada tahap ini, harmonisasi atau penyelarasan dilakukan lebih jauh, bahkan dengan menyeragamkan kebijakan-
kebijakan moneter dan fiskal dari masing-masing negara anggota. Ini merupakan tipe kerja sama yang paling
tinggi.0pen sky dapat d ipandang sebagai sebuah rezim. Menurut Stephen Haggard, rezim merupakan
sekumpulan prinsip, norma, dan aturan yang bersifat eksplisit serta prosedur pengambilan keputusan atas suatu
titik temu dari berbagai ekspektasi para aktor pada suatu bidang tertentu dalam hubungan internasional. Secara
umum perjanjian ini menitikberatkan pada pembebasan ruang udara terbuka bagi setiap negara yang
menyetujuinya. Mengingat di era modern dengan tingkat mobilitas yang tinggi sudah dapat dipastikan industri
jasa penerbangan merupakan industri yang sangat diminati, karena lebih cepat dan efisien.
Perjanjian open sky umumnya mencakup beberapa ketentuan yang
mengikat negara-negara yang membuat perjanjian tersebut yaitu :
1) Open market
Perjanjian ini biasanya dicirikan dengan meninggalkan (secara menyeluruh atau parsial) batasan-batasan yang
berhubungan dengan rute-rute, jumlah maskapai yang diijinkan, kapasitas, frekuensi dan tipe pesawat yang
akan beroperasi.
2) Level playing field
Perjanjian open sky biasanya memuat aturan yang mengijinkan maskapai yang berdomisili di negara-negara
berpartisipasi dalam perjanjian ini untuk berkompetisi secara adil dan setara. Misalnya, maskapai boleh
mendirikan kantor penjualan di negara-negara yang turut menandatangani perjanjian tersebut.
3) Pricing
Perjanjian open sky biasanya memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada maskapai-maskapai untuk
melakukan penetapan harga.
4) Cooperative marketing arrangement
Umumnya maskapai diijinkan untuk berbagi kode penerbangan atau melakukan perjanjian leasing dengan
maskapai dari negara-negara yang ikut dalam perjanjian ini.
5) Disputeresolution
Umumnya perjanjian ini juga memuat prosedur untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang mungkin
muncul selama berjalannya perjanjian tersebut.
6) Charter market
Perjanjian ini juga memuat aturan yang memberi kebebasan bagi pasar pesawat-pesawat angkut sewa.
7) Safety and security
Pemerintah dari negara-negara yang menandatangani perjanjian tersebut setuju untuk menjalankan standar-
standar penerbangan mengenai keselamatan dan keamanan yang disetujui.
8) Optional 7th Freedom of Cargo Right
Perjanjian open sky mengijinkan maskapai dari negara-negara yang ikut serta dalam perjanjian ini untuk
mengoperasikan jasa kargo secara murni diantara negara anggota lainnya dan negara ketiga tanpa harus
berhenti di negara asal dari maskapai kargo tersebut. Open sky bukanlah merupakan hal yang baru. Dalam
Konvensi Chicago 1944 telah memuat butir-butir liberalisasi penerbangan. Ada sebanyak 8 tingkat kebebasan
di udara atau Freedom of The Air yang diketahui, tetapi dalam prakteknya hanya lima yang secara konsisten
dijalani (Five Freedom of The Air) yang menyangkut hak pengangkutan penumpang, kargo dan pos secara
komersial.
Saat ini, Freedom of The Air yang biasa disingkat Freedom ini menjadi acuan dalam penentuan kebijakan open
sky.
Lima Freedom tersebut adalah sebagai berikut :
1. Hak untuk melintasi negara tanpa melakukan pendaratan,
2. Hak untuk mendarat di negara lain untuk keperluan teknis, seperti mengisi bahan bakar,
3. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari negara sendiri ke pihak lain,
4. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara
komersial dari pihak lain ke negara sendiri, dan
5. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari atau negara ketiga.
Run down untuk pelaksanaan ASEAN open sky itu sendiri terurai sebagai berikut :
a) 1 Januari 2009 : pemberlakuan freedom ke-3 dan ke-4 untuk ibukota negara-negara ASEAN,
b) 1 Januari 2011 pemberlakuan freedom ke-5 untuk ibukota negara anggota,
c) 1 Januari 2016 pemberlakuan freedom ke-3,ke-4, ke-5 untuk semua kota-kota di ASEAN.
Kota-kota akan Terbuka untuk ASEAN Open Sky
Negara Kota yang dibuka untuk ASEAN Open Sky
Indonesia Jakarta, Medan, Surabaya,
Denpasar, Makassar
Brunei Bandar Seri Begawan
Singapura Singapura
Malaysia Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 8 bandara
internasional)
Thailand Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 9 bandara
internasional)
Filipina Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 12 bandara
internasional)
Cambodia Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 3 bandara
internasional)
Laos Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 3 bandara
internasional)
Myanmar Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 3 bandara
internasional)
Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 8 bandara
internasional)
Sumber : INACA Annual Report 2012 hal- 26
Tujuan dari open sky menghapus segala bentuk pelarangan di bidang layanan penerbangan antar negara
demi untuk memajukan travel dan perusahaan perdagangan yang sedang berkembang, produktivitas,
kesempatan kerja dengan kualitas tinggi, dan pertumbuhan ekonomi. ASEAN open sky dilaksanakan dengan
cara mengurangi interferensi
pemerintah pada keputusan niaga perusahaan pengangkutan udara, membebaskan maskapai-maskapai
penerbangan untuk menyediakan jasa pelayanan udara yang dapat dijangkau, nyaman, dan efisien.
Dengan begitu memudahkan mobilitas penduduk diseluruh kawasan Asia Tenggara yang berdampak
langsung pada perekonomian negara-negara Asia Tenggara baik itu dari segi pariwisata, ekspor-impor,
pengiriman jasa kargo dan lain-lain. Open sky memperbolehkan perusahaan pengangkutan udara untuk
membuat keputusan pada rute, kapasitas, dan harga, dan pilihan yang beragam untuk menyewa dan kegiatan
penerbangan lain termasuk hak-hak codesharing yang tidak terbatas. Kebijakan-kebijakan open sky sangat
sukses karena kebijakan tersebut berhubungan langsung dengan globalisasi perusahaan penerbangan. Dengan
memperbolehkan akses tidak terbatas perusahaan pengangkutan udara ke negara-negara
pelaku/pesertapenandatanganan dan akses tidak terbatas untuk menengah dan diluar batas-batas, perjanjian
seperti itu menyediakan fleksibilitas operasional yang maksimal untuk partner perserikatan perusahaan
penerbangan.
STANDARISASI ASEAN OPEN SKY
Pelaksanaan ASEAN open sky tentu memiliki standarisasi dalam mengukur kelayakan negara dalam
menghadapi kebijakan tersebut. Dalam berbagai sumber penulis menemukan standarisasi ASEAN open sky di
seluruh dunia mengacu pada standar yang ditetapkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO)
selaku organisasi di bawah naungan PBB dalam bidang industri penerbangan. Ketentuan- ketentuan dalam
ICAO terdapat di dalam 18 annexyang merupakan hasil dari pertemuan negara-negara di dunia dalam konvensi
Chicago 1944.
Selanjutnya, terdapat ICAO Doc. 9859 yang menyebutkan bahwa SMS is a systematic approach to
managing safety, including the necessary organisational structures, accountabilities, policies and
procedures.Sebuah pendekatan sistematis untuk melakukan manajemen keselamatan yang mencakup struktur
organisasi, akuntabilitas, kebijakan dan prosedur. Safety Management System adalah konsep ICAO yang
ditujukan bagi industri penerbangan, yang pengawasannya dilakukan oleh otoritas penerbangan sipil di sebuah
negara berdasarkan ketentuan SARPs ICAO. Definition of Safety as SMS ICAO Doc 9859 is: the state in
which the risk of harm to persons or of property damage is reduced to, and maintained at or below, an
acceptable level through a continuing process of hazard identification and risk management.
Definisi keselamatan sebagaimana tercantum dalam SMS ICAO Doc 9859 adalah keadaan di mana
resiko yang dapat membahayakan seseorang atau merusakkan aset kepemilikan dapat dikurangi dan
dipertahankan di tingkat yang dapat diterima atau di bawahnya, melalui proses yang terus menerus dilakukan
dalam menemukenali bahaya dan manajemen resiko.Terdapat dua kategori sebagai tolak ukur sebuah negara
dalam pemenuhan standar yang telah ditetapkan oleh ICAO.
Pertama,
Kategori dua atau Category2,
maksudnya adalah : Does not Comply with ICAO Standards: The Federal Aviation Administration assessed
this country’s civil aviation authority (CAA) and determined that it does not provide safety oversight of its air
carrier operators in accordance with the minimum safety oversight standards established by the International
Civil Aviation Organization (ICAO).
Ketetapan standar dari ICAO belum terpenuhi apabila :
The Federal Aviation Administration menilai otoritas penerbangan sipil negara tersebut dan menentukan bahwa
itu tidak memberikan pengawasan keamanan operator angkutan udara sesuai dengan standar pengawasan
keselamatan minimum yang ditetapkan oleh ICAO.Sebagai sekedar tambahan informasi, negara-negara yang
masuk dalam kategori 2 FAA, selain Indonesia, antara lain adalah :
Guyana, Nauru, Serbia,Zimbabwe dan Congo.
Kedua,
Kategori satu atau Category1,
maksudnya adalah :Does Comply with ICAO Standards: A country’s civil aviation authority has been assessed
by FAA inspectors and has been found to license and oversee air carriers in accordance with ICAO aviation
safety standards.
Ketetapan standarICAO telah terpenuhi apabila:otoritas penerbangan sipilsuatu negara telah dinilai
olehinspekturFAAdantelah memiliki lisensidan pengawasan maskapai penerbangan sesuai dengan standar
keselamatan penerbanganICAO.
Selaku regulator dalam menghadapi ASEAN open sky 2015, pemerintah Indonesia melakukan beberapa
kebijakan dalam negeri untuk melindungi maskapai penerbangan yang ada di dalam negeri, menentukan
bandara yang akan digunakan dalam melakukan kebijakan open sky dan tentunya meningkatkan pelayanan
Undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan. Dalam undang-undang ini diatur hal-hal yang berkaitan dengan
operasionalisasi bisnis penerbangan, khususnya mengatur perizinan perusahaan angkutan udara, peraturan
standar keselamatan penerbangan. Dalam hal perizinan pemerintah menetapkan bahwa untuk angkutan udara
niaga berjadwal perusahaan penerbangan harus memiliki paling sedikit lima unit pesawat udara. Dengan
memiliki lima unit pesawat udara diharapkan bisa mendukung kelangsungan usaha dengan rute yang dilayani
dan dapat bersaing dengan maskapai asing.
Kedua,
Menghadapi regulasi ASEAN Open Sky 2015 membuat pemerintah Indonesia akan sangat membatasi jumlah
bandar udara yang akan diperbolehkan oleh penerbangan asing. Pemerintah melalui Kementrian Perhubungan
yang bertindak sebagai regulator telah mengeluarkan peraturan Keputusan Menteri 11 Tahun 2010 tentang
Tatanan Kebandarudaraan Nasional (KM 11), selain itu pemerintah telah menetapkan lima bandara di
Indonesia yaitu, Bandara Kualanamu (Medan), Soekarno Hatta (Jakarta), Ngurah Rai (Bali), Juanda (Surabaya)
dan Sultan Hassanudin (Makasar). Alasan pemilihan lima bandara tersebut, karena dinilai sebagai bandara yang
berada di daerah yang tingkat pertumbuhan ekonomi relatif tinggi. Wilayah tersebut dianggap terbesar dalam
kuantitas penumpang dan kargo, baik dalam angkutan udara domestik maupun luar negeri, lalu memiliki
cakupan rute dalam dan luar negeri terbanyak, termasuk dilengkapi dengan fasilitas keamanan dan
penerbangan terlengkap. Padahal Indonesia masih memiliki beberapa bandara yang dinilai memadai seperti
bandara Hang Nadim di Batam, bandara Seipinggan di Balikpapan dan bandara Internasional Lombok di
Lombok, namun dinilai karena kurang strategis seperti di Batam yang terlalu dekat dengan Singapura serta
Malaysia dan pemberlakuan peraturan Internasional pengelolaan wilayah udara sekitar bandara Hang Nadim
oleh Singapura membuat terpilihnya kelima bandara tersebut. Penetapan kelima bandara tersebut akan
membagi pintu masuk ke Indonesia lewat jalur barat, tengah dan timur.
Ketiga,
Kementerian Perhubungan pada Januari 2012 telah menerapkan kebijakan penggantian kerugian bagi
penumpang pesawat udara yang dinyatakan keberangkatannya mengalami penundaan lebih dari empat jam.
Aturan resmi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 (PM 77). Di dalam PM
77 mengatur tentang bagasi yang hilang sehingga mewajibkan untuk penggantian maksimal 4 juta rupiah, atau
200.000 rupiah per kg. Bagasi dinyatakan hilang apabila dalam kurun waktu 14 hari tidak dapat ditemukan.
Kehilangan sementara bagasi mendapat ganti rugi uang tunggu sebesar 200.000 rupiah per hari (maksimal tiga
hari). Dengan adanya PM 77 ini menandakan pemerintah ingin meningkatkan pelayanan maskapai
penerbangan yang beroperasi di Indonesia dan melindungi hak konsumen.
Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan langkah konkrit pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan
diri menghadapi kebijakan ASEAN open sky 2015. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang mendukung
penyelenggaraan serta tidak lupa pemerintah memperhatikan kelangsungan maskapai-maskapai dalam negeri
yang perlu dilindungi agar tidak kalah bersaing, maka kebijakan-kebeijakan dalam negeri hendaknya berpihak
pada kepentingan nasional.
ASEAN OPEN SKY
ASEAN Open Sky tahun 2015 tidak dapat dihindari, secara pasti akan berlangsung dalam jangka
panjang. Ini adalah bentuk dari globalisasi yang ditunjang oleh kemajuan teknologi dan industri. Indonesia
sebagai anggota ASEAN terlibat di dalamya perlahan tetapi pasti berpengaruh pada kegiatan moda
perhubungan udara dengan segala aspeknya, baik ditinjau dari transportasi, hubungan internasional, ekonomi,
dan hukum.
Open Sky dalam konteks ASEAN adalah liberalisasi dari layanan udara antara negara-negara anggota
ASEAN. Selama hampir dua dekade terakhir industri transportasi udara diramaikan oleh banyaknya aktivitas
kerja sama jasa transportasi udara yang dilakukan olehnegara-negara di dunia. Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi perubahan lingkungan dalam industri tersebut menyusul kemunculan banyak maskapai baru
yang menambah padat jumlah pemain dalam bisnis ini, adanya perubahan situasi ekonomi seperti kenaikan
harga minyak yang membuat biaya operasional meningkat, krisis finansial, maupun karena ketatnya aturan
main yang diterapkan secara berbeda-beda oleh masing-masing negara. Kerja sama ini terjadi diberbagai
belahan dunia mulai dari kawasan Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, Pasifik,bahkan hingga ke Asia
Tenggara.
Bentuk kerja sama yang kini banyak terjadi antar negara adalah kerja sama untuk meliberalisasi jasa
transportasi udara, baik secara parsial maupun secara penuh. Salah satu dari bentuk kerja sama yang kini tidak
asing lagi di dunia penerbangan adalah Open Sky, yang bertujuan untuk meliberalisasi jasa transportasi udara
secara penuh.
Dalam kerja sama Open Sky, terdapat sekumpulan aspek kebijakan yang dilakukan secara berbeda,
misalnya deregulasi kapasitas dan penghapusan kendali pemerintah atas harga yang ditetapkan, sehingga
berdampak pada melonggarnya peraturan-peraturan dalam industri jasa transportasi udara. Strategi open sky ini
sendiri dapat dilakukan oleh negara-negara baik secara bilateral, regional, maupun multilateral. Secara khusus,
open sky mendorong terjadinya kompetisi yang makin ketat antara maskapai-maskapai penerbangan,
memungkinkan maskapai-maskapai dari negara ketiga untuk dapat melayani rute-rute yang ada diantara dua
negara dan memberi keleluasaan bagi para maskapai untuk mengembangkan rute-rute dan jaringan layanan
yang ingin maskapai-maskapai tersebut pilih.
Perjanjian Open Sky umumnya mencakup beberapa ketentuan yang mengikat negara-negara anggota
ASEAN tersebut yaitu: open market, level playing field, pricing, cooperative marketing arrangement, dispute
resolution, charter market, safety and security, dan optional 7th freedom of cargo right.
Visi ASEAN 2020, ASEAN becita-cita membentuk suatu integrasi ekonomi regional yang disebut
ASEAN Economic Community, yang diharapkan dapat memperkuat daya saing global dalam menghadapi
persaingan dari negara besar Asia, seperti Cina dan India. Dalam rangka mewujudkan suatu komunitas
ekonomi ASEAN, dilakukan percepatan liberalisasi 12 sektor prioritas yang salah satunya adalah jasa
penerbangan.
ASEAN Open Sky sendiri bermula dari pertemuan negara-negara ASEAN dalam Bali Concord II di
tahun 2003 yang merupakan KTT ASEAN yang ke-9 dengan adanya cita-cita membentuk ASEAN Economic
Community 2020 dengan angkutan udara menjadi salah satu sektor yang akan diintegrasikan pada tahun 2010.
Tindak lanjut dari Bali Concord II adalah diadakannya KTT ke-12 di Cebu, Filipina, pada 12-13 Januari 2007
yang menghasilkan sebuah keputusan penting mengenai percepatan perwujudan komunitas ASEAN yang akan
dicapai pada tahun 2015, 6 lima tahun lebih awal dari keputusan sebelumnya yaitu pada tahun 2020.
Pada KTT ke-13 di Singapura pada tanggal 20 November 2007 Piagam ASEAN telah diresmikan.
ASEAN Charter tersebut ditandatangani oleh 10 pemimpin ASEAN dan telah disetujui. Piagam ASEAN
merupakan landasan ASEAN untuk mencapai tujuan dan pelaksanaan prinsip-prinsip yang dianut bersama oleh
negara-negara anggotanya dalam perwujudan Komunitas Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Tahap-tahap menuju
ke arah open sky sudah mulai dilakukan negara-negara anggota ASEAN.
Pada tahun 2008 pembatasan untuk penerbangan antar ibukota negara ASEAN sudah dihapuskan,
menyusul kemudian hak angkut kargo pada tahun 2009 dan diikuti hak angkut penumpang pada tahun 2010
dengan puncaknya Pasar Penerbangan Tunggal ASEAN. Kebijakan open sky 2015 menjadikan masing-masing
maskapai penerbangan di Indonesia untuk berlomba-lomba meningkatkan pelayanan dari segi kualiatas maupun
kuantitasnya dalam keamanan maupun kenyamanan penerbangannya.
Beberapa tahun yang lalu, maskapai Indonesia dilarang terbang ke negara-negara Eropa. Indonesia
dianggap tidak memenuhi prosedur keselamatan penerbangan internasional. Salah satu hal yang menarik dalam
hal pelarangan ini adalah begitu efektifnya Uni Eropa melalui kebijakan ruang udara terbuka (open sky policy)
menetapkan suatu regulasi yang mampu memberikan proteksi bagi seluruh negara anggotanya.
Padahal dalam aturan Hukum Udara Internasional, kebijakan pemanfaatan dan pengaturan ruang udara
sepenuhnya merupakan hak ekslusif suatu negara, bukan hak suatu komunitas negara seperti Uni Eropa.
Dengan kebijakan Single European Sky, ruang udara negara anggota Uni Eropa menjadi terbuka dan kemudian
lahir ruang udara baru yaitu ruang udara Uni Eropa. Sejak tahun 2007 NKRI berada dalam kelompok negara
yang mendapat penilaian kategori 2 dari FAA (Federal Aviation Administration) yang mengacu kepada standar
keamanan terbang internasional seperti yang telah ditentukan dalam regulasi ICAO (International Civil
Aviation Organization).
Masuknya Indonesia dalam kategori 2 menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu memenuhi
persyaratan minimum keamanan terbang internasional. Selain itu, sarana dan prasarana dalam dunia
penerbangan masih kurang. Hukum udara dan ruang angkasa yang pasti di Indonesia belum lengkap serta
kurang siapnya operator yang berkualifikasi dalam mendukung kegiatan penerbangan, ini semua jika diabaikan
dapat berimplikasi pada masalah pertahanan dan keamanan yang cukup serius.
Implementasi ASEAN Open Sky akan dilaksanakan pada tahun 2015, itu artinya kurang lebih tinggal 2 tahun
lagi untuk negara-negara anggotanya mempersiapkan diri dalam menghadapi kebijakan tersebut. Indonesia sebagai salah
satu negara anggota ASEAN yang turut serta dalam penendatanganan perjanjian open sky ini tentunya harus
melakukan persiapan yang matang agar siap menghadapi liberalisasi dalam bidang transportasi udara tersebut.
Bagi pemerintah Indonesia sendiri, saat ini masih menghadapi beberapa kendala dalam upaya meningkatkan
market demands-nya termasuk masalah penilaian FAA.
Pariwisata di Indonesia, yang menjadi daya tarik unggulan dalam menarik wisatawan mancanegara
mengalami penurunan yang cukup drastis. Image masyarakat dunia terhadap kondisi umum politik dan sosial
Indonesia sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri pariwisata Indonesia.
Masalah lain adalah perangkat hukum yang belum terintegrasi dengan baik. Industri penerbangan sipil
tidak dapat berkembang hanya dengan kebijakan yang dibuat oleh Departemen Perhubungan karena aspek-
aspek hukum dan operasional penerbangan sipil sangat tergantung pula pada kebijakan yang dibuat oleh
departemen. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang menyatakan bahwa: “…The
Contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above
its territory”. Pasal ini adalah penegasan dari Konvensi Paris 1919. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Konvensi
Chicago 1944 yang menyatakan bahwa: “…The Contracting States recognize that every State has complete and
exclusive sovereignty over the airspace above its territory”. Pasal ini adalah penegasan dari Konvensi Paris
1919. Pendapat Adam L. Schless. “Opened Skies: Loosening the Protectionist Grips on International Civil
Aviation” dalam Emory International Law Review Vol. 8, 1994.
Untuk melihat persiapan Indonesia dalam menghadapi ASEAN open sky 2015 dalam teori integrasi
ekonomi yang dikemukakan oleh Dominick Salvatore, terdapat 5 tahapan dalam integrasi ekonomi:
Pertama, Preferential Trade Arangements yang dibentuk oleh negara-negara yang sepakat menurunkan
hambatan-hambatan perdagangan yang berlaku di antara mereka, dan membedakannya dengan yang
diberlakukan terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Ini merupakan bentuk integrasi ekonomi yang
paling longgar.
Kedua, Free Trade Area (FTA) yaitu bentuk integrasi ekonomi yang lebih tinggi dimana semua
hambatan perdagangan tarif maupun nontarif di antara negara-negara anggota telah dihilangkan sepenuhnya,
namun masing-masing negara anggota tersebut masih berhak untuk menentukan sendiri apakah mereka hendak
mempertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkannya terhadap negara-
negara luar yang bukan anggota.
Ketiga, Customs Union yaitu Mewajibkan semua anggota untuk tidak hanya menghilangkan semua
bentuk hambatan perdagangan di antara mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka
terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Jadi, masing-masing negara anggota tidak lagi bebas
menentukan kebijakan komersilnya dengan negara-negara lain.
Keempat, Common Market, pada bentuk integrasi ini, bukan hanya perdagangan barang saja yang
dibebaskan, namun juga arus-arus faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal.
Kelima, Economic Union, pada tahap ini, harmonisasi atau penyelarasan dilakukan lebih jauh, bahkan
dengan menyeragamkan kebijakan-kebijakan moneter dan fiskal dari masing-masing negara anggota. Ini
merupakan tipe kerja sama yang paling tinggi.
Kerja sama Open Sky dapat dipandang sebagai sebuah rezim. Menurut Stephen Haggard, rezim
merupakan sekumpulan prinsip, norma, dan aturan yang bersifat eksplisit serta prosedur pengambilan
keputusan atas suatu titik temu dari berbagai ekspektasi para aktor pada suatu bidang tertentu dalam hubungan
internasional. Secara umum perjanjian ini menitik beratkan pada pembebasan ruang udara terbuka bagi setiap
negara yang menyetujuinya. Mengingat di era modern dengan tingkat mobilitas yang tinggi sudah dapat
dipastikan industri jasa penerbangan merupakan industri yang sangat diminati, karena lebih cepat dan efisien.
Perjanjian Open Sky umumnya mencakup beberapa ketentuan yang mengikat negara-negara yang
membuat perjanjian tersebut yaitu :
1) Open market, Perjanjian ini biasanya dicirikan dengan meninggalkan (secara menyeluruh atau parsial)
batasan-batasan yang berhubungan dengan rute-rute, jumlah maskapai yang diijinkan, kapasitas, frekuensi
dan tipe pesawat yang akan beroperasi. Perjanjian open sky biasanya memuat aturan yang mengijinkan
maskapai yang berdomisili di negara-negara berpartisipasi dalam perjanjian ini untuk berkompetisi secara
adil dan setara. Misalnya, maskapai boleh mendirikan kantor penjualan di negara-negara yang turut
menandatangani perjanjian tersebut.
2) Perjanjian Open Sky biasanya memuat aturan yang mengijinkan maskapai yang berdomisili di negara-negara
berpartisipasi dalam perjanjian ini untuk berkompetisi secara adil dan setara. Misalnya, maskapai boleh
mendirikan kantor penjualan di negara-negara yang turut menandatangani perjanjian tersebut.
3) Pricing, Perjanjian Open Sky biasanya memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada maskapai-
maskapai untuk melakukan penetapan harga.
4) Cooperative marketing arrangement, Umumnya maskapai diijinkan untuk berbagi kode penerbangan atau
melakukan perjanjian leasing dengan maskapai dari negara-negara yang ikut dalam perjanjian ini.
5) Disputeresolution, Umumnya perjanjian ini juga memuat prosedur untuk menyelesaikan perbedaan-
perbedaan yang mungkin muncul selama berjalannya perjanjian tersebut.
6) Charter market, Perjanjian ini juga memuat aturan yang memberi kebebasan bagi pasar pesawat-pesawat
angkut sewa.
7) Safety and security, Pemerintah dari negara-negara yang menandatangani perjanjian tersebut setuju untuk
menjalankan standar-standar penerbangan mengenai keselamatan dan keamanan yang disetujui.
8) Optional 7th freedom of cargo right, Perjanjian open sky mengijinkan maskapai dari negara-negara yang
ikut serta dalam perjanjian ini untuk mengoperasikan jasa kargo secara murni diantara negara anggota
lainnya dan negara ketiga tanpa harus berhenti di negara asal dari maskapai kargo tersebut. Open sky
bukanlah merupakan hal yang baru.
Dalam Konvensi Chicago 1944 telah memuat butir-butir liberalisasi penerbangan. Ada sebanyak 8
tingkat kebebasan di udara atau Freedom of The Air yang diketahui, tetapi dalam prakteknya hanya lima yang
secara konsisten dijalani “Five Freedom of The Air” yang menyangkut hak pengangkutan penumpang, kargo
dan pos secara komersial. Saat ini, Freedom of The Air yang biasa disingkat Freedom ini menjadi acuan dalam
penentuan kebijakan open sky. Lima Freedom tersebut adalah sebagai berikut :
1. Hak untuk melintasi negara tanpa melakukan pendaratan,
2. Hak untuk mendarat di negara lain untuk keperluan teknis, seperti mengisi bahan bakar,
3. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari negara sendiri ke pihak lain,
4. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari pihak lain ke negara sendiri, dan
5. Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari atau negara ketiga. Run down
untuk pelaksanaan ASEAN open sky itu sendiri terurai sebagai berikut :
a) 1 Januari 2009 : pemberlakuan freedomke-3 dan ke-4 untuk ibukota negara-negara ASEAN,
b) 1 Januari 2011 pemberlakuan freedom ke-5 untuk ibukota negara anggota,
c) 1 Januari 2016 pemberlakuan freedom ke-3,ke-4, ke-5 untuk semua kota-kota di ASEAN.
Kota-kota akan terbuka untuk ASEAN Open Sky Negara Kota yang dibuka untuk ASEAN Open Sky
Indonesia Jakarta, Medan, Surabaya, Denpasar, Makassar Brunei Bandar Seri Begawan Singapura Singapura
Malaysia. Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 8 bandara internasional) Thailand Semua
kota dengan bandara internasional (Saat ini terdapat 9 bandara internasional) Filipina Semua kota dengan
bandara internasional (saat ini terdapat 12 bandara internasional) Cambodia Semua kota dengan bandara
internasional (saat ini terdapat 3 bandara internasional) Laos Semua kota dengan bandara internasional (saat ini
terdapat 3 bandara internasional) Myanmar Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 3
bandara internasional) Vietnam Semua kota dengan bandara internasional (saat ini terdapat 8 bandara
internasional).
Tujuan dari Open Sky menghapus segala bentuk pelarangan di bidang layanan penerbangan antar
negara demi untuk memajukan travel dan perusahaan perdagangan yang sedang berkembang, produktivitas,
kesempatan kerja dengan kualitas tinggi, dan pertumbuhan ekonomi. ASEAN open sky dilaksanakan dengan
cara mengurangi interferensi pemerintah pada keputusan niaga perusahaan pengangkutan udara, membebaskan
maskapaimaskapai penerbangan untuk menyediakan jasa pelayanan udara yang dapat dijangkau, nyaman, dan
efisien, memudahkan mobilitas penduduk diseluruh kawasan Asia Tenggara yang berdampak langsung pada
perekonomian negara-negara Asia Tenggara baik itu dari segi pariwisata, ekspor-impor, pengiriman jasa kargo
dan lain-lain. Open Sky memperbolehkan perusahaan pengangkutan udara untuk membuat keputusan pada rute,
kapasitas, dan harga, dan pilihan yang beragam untuk menyewa dan kegiatan penerbangan lain termasuk hak-
hak codesharing yang tidak terbatas. Kebijakan-kebijakan Open Sky sangat sukses karena kebijakan tersebut
berhubungan langsung dengan globalisasi perusahaan penerbangan. Dengan memperbolehkan akses tidak
terbatas perusahaan pengangkutan udara ke negara-negara pelaku/peserta penandatanganan dan akses tidak
terbatas untuk menengah dan diluar batas-batas, perjanjian seperti itu menyediakan 17 “Open Skies
Agreements”, 7 fleksibilitas operasional yang maksimal untuk partner perserikatan perusahaan penerbangan.
Standarisasi ASEAN Open Sky Pelaksanaan ASEAN open sky tentu memiliki standarisasi dalam
mengukur kelayakan negara dalam menghadapi kebijakan tersebut. Dalam berbagai sumber ASEAN open sky
di seluruh dunia mengacu pada standar yang ditetapkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO)
selaku organisasi di bawah naungan PBB dalam bidang industri penerbangan. Ketentuan- ketentuan dalam
ICAO terdapat di dalam annex yang merupakan hasil dari pertemuan negara-negara di dunia dalam konvensi
Chicago 1944. Selanjutnya, terdapat ICAO Doc. 9859 yang menyebutkan bahwa SMS is a systematic approach
to managing safety, including the necessary organisational structures, accountabilities, policies and
procedures. Sebuah pendekatan sistematis untuk melakukan manajemen keselamatan yang mencakup struktur
organisasi, akuntabilitas, kebijakan dan prosedur.
Safety Management System adalah konsep ICAO yang ditujukan bagi industri penerbangan, yang
pengawasannya dilakukan oleh otoritas penerbangan sipil di sebuah negara berdasarkan ketentuan SARPs
ICAO. Definition of Safety as SMS ICAO Doc 9859 is: the state in which the risk of harm to persons or of
property damage is reduced to, and maintained at or below, an acceptable level through a continuing process
of hazard identification and risk management.
Foto oleh Rahmad Gunawan Terminal-terminal di Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta saat ini sudah beroperasi pada tingkat yang melebihi kapasitas.
Definisi keselamatan sebagaimana tercantum dalam SMS ICAO Doc 9859 adalah keadaan di mana
resiko yang dapat membahayakan seseorang atau merusakkan aset kepemilikan dapat dikurangi dan
dipertahankan di tingkat yang dapat diterima atau di bawahnya, melalui proses yang terus menerus dilakukan
dalam menemukenali bahaya dan manajemen resiko.
Terdapat dua kategori sebagai tolak ukur sebuah negara dalam pemenuhan standar yang telah
ditetapkan oleh ICAO:
Pertama, Kategori dua atau Category 2, maksudnya adalah :Does not Comply with ICAO Standards:
The Federal Aviation Administration assessed this country’s civil aviation authority (CAA) and determined that
it does not provide safety oversight of its air carrier operators in accordance with the minimum safety
oversight standards established by the International Civil Aviation Organization (ICAO). Ketetapan standar
dari ICAO belum terpenuhi apabila : The Federal Aviation Administration menilai otoritas penerbangan sipil
negara tersebut dan menentukan bahwa itu tidak memberikan pengawasan keamanan operator angkutan udara
sesuai dengan standar pengawasan keselamatan minimum yang ditetapkan oleh ICAO.Sebagai sekedar
tambahan informasi, negara-negara yang masuk dalam kategori 2 FAA, selain Indonesia, antara lain adalah :
Guyana, Nauru, Serbia, Zimbabwe dan Congo.
Kedua, Kategori satu atau Category 1, maksudnya adalah : Does Comply with ICAO Standards: A
country’s civil aviation authority has been assessed by FAA inspectors and has been found to license and
oversee air carriers in accordance with ICAO aviation safety standards.Ketetapan standar ICAO telah
terpenuhi apabila otoritas penerbangan sipil suatu negara telah dinilai oleh inspektur FAA dan telah memiliki
lisensi dan pengawasan maskapai penerbangan sesuai dengan standar keselamatan penerbangan ICAO.
Selaku regulator dalam menghadapi ASEAN open sky 2015, pemerintah Indonesia melakukan beberapa
kebijakan dalam negeri untuk melindungi maskapai penerbangan yang ada di dalam negeri, menentukan
bandara yang akan digunakan dalam melakukan kebijakan open sky dan tentunya meningkatkan pelayanan
Undang-undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan.
Dalam undang-undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan, diatur hal-hal yang berkaitan dengan
operasionalisasi bisnis penerbangan, khususnya mengatur perizinan perusahaan angkutan udara, peraturan
standar keselamatan penerbangan. Dalam hal perizinan pemerintah menetapkan bahwa untuk angkutan udara
niaga berjadwal perusahaan penerbangan harus memiliki paling sedikit lima unit pesawat udara. Dengan
memiliki lima unit pesawat udara diharapkan bisa mendukung kelangsungan usaha dengan rute yang dilayani
dan dapat bersaing dengan maskapai asing.
Menghadapi regulasi ASEAN open sky 2015 membuat pemerintah Indonesia akan sangat membatasi
jumlah bandar udara yang akan diperbolehkan oleh penerbangan asing. Pemerintah melalui Kementrian
Perhubungan yang bertindak sebagai regulator telah mengeluarkan peraturan Keputusan Menteri 11 Tahun
2010 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional (KM 11), selain itu pemerintah telah menetapkan lima
bandara di Indonesia yaitu, Bandara Kualanamu (Medan), Soekarno Hatta (Jakarta), Ngurah Rai (Bali), Juanda
(Surabaya) dan Sultan Hassanudin (Makasar). Alasan pemilihan lima bandara tersebut, karena dinilai sebagai
bandara yang berada di daerah yang tingkat pertumbuhan ekonomi relatif tinggi. Wilayah tersebut dianggap
terbesar dalam kuantitas penumpang dan kargo, baik dalam angkutan udara domestik maupun luar negeri, lalu
memiliki cakupan rute dalam dan luar negeri terbanyak, termasuk dilengkapi dengan fasilitas keamanan dan
penerbangan terlengkap.
Indonesia masih memiliki beberapa bandara yang dinilai memadai seperti bandara Hang Nadim di
Batam, bandara Seipinggan di Balikpapan dan bandara Internasional Lombok di Lombok, namun dinilai karena
kurang strategis seperti di Batam yang terlalu dekat dengan Singapura serta Malaysia dan pemberlakuan
peraturan Internasional pengelolaan wilayah udara sekitar bandara Hang Nadim oleh Singapura membuat
terpilihnya kelima bandara tersebut, penetapan kelima bandara tersebut akan membagi pintu masuk ke
Indonesia lewat jalur barat, tengah dan timur.
Kementerian Perhubungan pada Januari 2012 telah menerapkan kebijakan penggantian kerugian bagi
penumpang pesawat udara yang dinyatakan keberangkatannya mengalami penundaan lebih dari empat jam.
Aturan resmi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 (PM 77). Di dalam PM
77 mengatur tentang bagasi yang hilang sehingga mewajibkan untuk penggantian maksimal 4 juta rupiah, atau
200.000 rupiah per kg. Bagasi dinyatakan hilang apabila dalam kurun waktu 14 hari tidak dapat ditemukan.
Kehilangan sementara bagasi mendapat ganti rugi uang tunggu sebesar 200.000 rupiah per hari (maksimal tiga
hari). Dengan adanya PM 77 ini menandakan pemerintah ingin meningkatkan pelayanan maskapai
penerbangan yang beroperasi di Indonesia dan melindungi hak konsumen.
Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan langkah konkrit pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan
diri menghadapi kebijakan ASEAN open sky 2015. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang mendukung
penyelenggaraan serta tidak lupa pemerintah memperhatikan kelangsungan maskapai-maskapai dalam negeri
yang perlu dilindungi agar tidak kalah bersaing, maka kebijakan-kebeijakan dalam negeri hendaknya berpihak
pada kepentingan nasional.
Dalam teori integrasi ekonomi dikatakan perdagangan bebas tanpa hambatan disebutkan bahwa tujuan
agar terjadi pergerakan bebas dari modal, tenaga kerja, barang, dan jasa di antara negara anggota adalah agar
memudahkan bagi negara-negara ASEAN untuk mencapai efisiensi ekonomi yang lebih tinggi.
Dibandingkan dengan pasar bersama, satu pasar tunggal membutuhkan lebih banyak usaha untuk
menghilangkan hambatan fisik (di perbatasan), teknis (standar), dan fiskal (perpajakan) di antara negara
anggota. Untuk menghilangkan hambatan-hambatan tersebut negara anggota memerlukan kemauan politik dan
harus merancang kebijaksanaan ekonomi bersama.
Kebijakan ekonomi bersama yang dimaksud dalam pemberlakuan ASEAN Open Sky bertujuan untuk
meliberalisasi pasar penerbangan di kawasan ASEAN khususnya. Berdasarkan teori integrasi ekonomi satu
pasar tunggal tersebut membutuhkan banyak usaha untuk menghilangkan hambatan, teknis dan fiskal.
Penerapan ASEAN open sky merupakan rencana yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Bali pada
tahun 2003. Konsep itu tertuang dalam Bali Concord II. Liberalisasi penerbangan bertujuan untuk membuka
wilayah udara antarsesama anggota negara ASEAN. Dengan liberalisasi diharapkan akan terjadi
perdagangan bebas dalam bidang penerbangan.
Dasar pembentukan liberalisasi penerbangan itu adalah keinginan tercapainya ASEAN Economic
Community 2020. Bali Concord II menyebutkan angkutan udara menjadi salah satu dari dua belas sektor yang
akan diintegrasikan. ASEAN Open Sky akan diwujudkan pada tahun 2015. Perbaikan di bidang perdagangan,
pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas penerbangan, dan bahkan peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia akan menjadi dampak positif bila Indonesia ikut serta dalam ASEAN Open Sky.
Upaya Indonesia dalam menghadapi ASEAN open sky adalah dengan pemenuhan standarisasi dalam
pelaksanaan ASEAN open sky dengan melakukan perbaikan dalam hal regulasi, pembangunan infrastruktur,
peningkatan kualitas penerbangan, dan bahkan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal tersebut
bertujuan agar Indonesia selaku negara ASEAN, siap dalam menghadapi kebijakan tersebut dan tentunya
Indonesia tidak dirugikan dalam penerapan kebijakan tersebut.
ASEAN open sky jika dilihat dari jumlah pasar yang bertambah tentunya hal tersebut menguntungkan,
tetapi di kawasan Asia Tenggara Indonesia mempunyai pasar yang jauh lebih besar dibandingkan negara-
negara ASEAN lainnya. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah bandara di Indonesia yang mencapai 26
bandara sedangkan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Brunei berturut-turut jika
dijumlahkan bandara negara-negara tersebut tidak sampai 26 bandara. Tentu hal ini menjadi tantangan bagi
Indonesia untuk melakukan perlindungan serta persiapan yang matang dalam menghadapi kebijakan tersebut
agar Indonesia tidak kalah bersaing dalam pelaksanaan liberalisasi tersebut.
Persiapan Indonesia sendiri untuk pemenuhan standarisasi ASEAN Open Sky dimulai dari regulasi
seperti Undang-Undang tahun 2009 tentang Penerbangan, serta Peraturan Menteri Perhubungan dalam
mempersiapkan diri untuk pelaksanaan Open Sky secara tegas memang telah disebutkan.
Selain itu juga, Perbaikan kualitas perusahaan-perusahaan penerbangan, tidak hanya kuantitas pesawat,
misalnya dengan perbaikan kualitas pelayanan, ketepatan waktu penerbangan, dan harga pemanfaatan fasilitas
penerbangan yang tidak memberatkan masyarakat, tetapi juga tidak merugikan perusahaan penerbangan
nasional. Pembangunan bandara-bandara baru yang berstandar internasional dan memperbaiki bandarabandara
yang sudah ada dengan meningkatkan kualitasnya pelayanannya, peningkatan keamanan, dalam hal ini dalam
bidang keamanan juga harus ditingkatkan.
Di setiap bandara, baik pihak imigrasi maupun pemeriksaan penumpang dan kargo, harus semakin
diperketat, perbaikan kualitas sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan kualitas fasilitas lain yang
berhubungan dengan penerbangan. Peningkatan kualitas fasilitas lain misalnya akomodasi. Penerapan asas
cabotage juga masih diperlukan apabila Indonesia masih merasa perlu melindungi perusahaan penerbangan
nasionalnya sampai nanti perusahaan-perusahaan penerbangan nasionalnya siap untuk menghadapi perusahaan
penerbangan asing. Pemenuhan standarasasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualiatas Indonesia di
bidang penerbangan agar tidak kalah bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Hal tersebut dibuktikan dengan usaha Indonesia dalam mengikuti ketentuan ICAO selaku organisasi
internasional yang mengatur standarisasi maupun lisensi dalam dunia penerbangan yang diwujudkan dalam
peraturan menteri perhubungan KM 8 tahun 2010 yakni dengan program keselamatan penerbangan nasional
serta Undang-Undang tahun 2009 tentang penerbangan. Selain itu juga pemenuhan standar profesi jasa
penunjang penerbangan dalam rangka menuju MRA (Mutual Recognation Agreement).